Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Jumat, 27 Januari 2012

    Penanganan Perilaku Agresif pada Anak

    Atang Setiawan
    Universitas Pendidikan Indonesia


    ABSTRAK


    Perilaku agresif secara tipikal adalah setiap perilaku yang bertujuan untuk menyakiti atau merugikan orang lain baik secara fisik maupun psikis. Dampak perbuatan tersebut tidak saja merugikan sikorban, melainkan juga si pelaku sendiri. Untuk melakukan identifikasi anak yang dikatagorikan berperilaku agresif ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu: kualitas dan kuantitas perilaku, disengaja, tidak ada rasa tanggung jawab, karakteristik pengamat, dan karakteristik sipelaku. Faktor penyebab berperilaku agresif pada anak disebabkan terhambatanya perkembangan emosi, sosial, dan biologis. Perilaku agresif bukan suatu kondisi melainkan suatu “penyakit”, maka sangat memungkinkan untuk di “sembuhkan”, diatasi. Dalam upaya membantu mengatasi perilaku tersebut, ada beberapa metoda dan teknik yang dapat dilakukan oleh guru atau orang tua, yaitu: Pemahaman dan penerimaan terhadap pribadi anak, menciptakan PAKEM, mengembangkan katarsis, menghapuskan pemberian imbalan, strategi memperagakan, menciptakan lingkungan nonagresif, mengembangkan sikap empati, dan memberikan hukuman.
    Kata kunci: Penanganan, agresif, penyebab.

    PENDAHULUAN


    Rasanya tidak ada seorangpun anak adam di muka bumi ini yang tidak pernah berperilaku agresif, seperti memukul, menendang, merusak benda dan barang di sekitarnya, tetapi belum tentu dapat dikatagorikan anak agresif, apabila tidak memenuhi kriteria tertentu. Perilaku agresif merupakan bentuk perilaku yang bersifat anti-sosial, bertentangan dengan norma-norma sosial dan norma hukum yang berlaku di lingkungannya, perilaku yang tidak dikehendaki oleh orang lain baik individu maupun masyarakat secara luas. Perilaku tersebut sangat merugikan perkembangan dirinya maupun keamanan dan kenyamanan orang lain.
    Penyebab perilaku agresif sangat kompleks, tidak tunggal, tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua penyebab, yaitu internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut menyebabkan terhambatnya perkembangan aspek emosi atau dan sosial yang bersangkutan. Terhambatnya perkembangan emosi dan perilaku sosial di antaranya diwujudkan dalam bentuk perilaku agresif.
    Perilaku agresif dilakukan anak/remaja, baik di rumah, sekolah, bahkan di lingkungan masyarakat luas. Perilaku agresif pada batas-batas yang wajar pada anak/remaja masih dapat ditolerir atau diabaikan, namun apabila sudah menjurus dapat merugikan dirinya dan orang lain, maka perlu ditangani secara sunguh-sungguh, karena dapat berakibat lebih patal.
    Dampak perilaku agresif tidak hanya mempengaruhi fungsi anak dalam perkembangan emosi dan perilaku, tetapi hal tersebut juga mempengaruhi prestasi akademis, interaksi sosial mereka dengan teman sebaya dan guru. Kaufmann (1985), menjelaskan hasil risetnya, bahwa anak yang agresif umumnya memiliki prestasi akademik yang rendah untuk usia mereka, mayoritas anak agresif memiliki kesulitan akademis. Memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial yang mempengaruhi kemampuan untuk kerjasama dengan guru, fungsi di dalam kelas, dan bergaul dengan siswa lain.
    Pada tulisan singkat ini, penulis mengajak pada para pembaca, khususnya bapak/ibu guru atau calon guru untuk memahami konsep perilaku agresif dan cara mengatasinya. Karena di sekolah atau keluarga tidak sedikit anak atau remaja yang berperilaku agresif yang dapat merugikan baik terhadap dirinya maupun lingkungannya.


    PEMBAHASAN


    Perilaku Agresif
    Apakah agresif itu identik dengan kekerasan? Banyak orang yang mengartikan bahwa agresif dan kekerasan sama. Memang benar ada kesamaan diantara keduanya, yaitu bersifat komfrontatif, tetapi berbeda dalam bentuk dan motivasinya. Breakwell (1998), menjelaskan agresi secara tipikal didefinisikan setiap bentuk pilaku untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang itu. Agresif melibatkan setiap bentuk penyiksaan, termasuk penyiksaan psikologis atau emosional. Misalnya mempermalukan, menakut-nakuti atau mengancam. Sedangkan kekerasan didefinisikan sebagai tindakan di mana ada usaha sengaja untuk mencederai secara fisik, terbatas pada penyiksaan secara fisik, dan apabila tidak disengaja tidak dikatagorikan kekerasan.
    Selanjutnya secara gamblang para ahli psikologi, seperti Sigmund Freud (Shaffer, 1994) menjelaskan, agresif merupakan suatu perilaku naluriah atau instingtif, sebagai thanatos (naluri kematian), yaitu merupakan faktor yang bertanggungjawab terbentuknya energi yang agresif di dalam kehidupan manusia. Ia memiliki pandangan tentang agresif sebagai suatu sikap bermusuhan, suatu energi agresif yang akan membangun dan bersikap kritis serta dapat berkembang menjadi suatu perilaku yang kejam, bersifat merusak.
    Ahli Ethologist Konrad Lorenz (Shaffer, 1994), menguraikan agresif sebagai suatu naluri perkelahian yang dicetuskan oleh isyarat tertentu di dalam lingkungan. Meski ada perbedaan pandangan yang penting antara psychoanalytic dan ethological tentang agresi, keduanya menganggap perilaku agresif sebagai sikap tidak suka bersosialisasi (anti-sosial) yang diakibatkan oleh satu kecenderungan bawaan bertindak untuk melakukan kekerasan.
    Sedangkan pada umumnya ahli teori belajar sikap menolak pandangan yang menjelasan naluri yang bersifat merusak dan berbuat sesuatu dengan menggunakan kekerasan, pandangan mereka berpikir bahwa agresi manusia dan perilaku tidak suka bersosialisasi (anti-sosial) sebagai suatu kategori tertentu dari perilaku. Seperti pandangan Bandura (Shaffer, 1994) dan para ahli teori lainnya meyakinkan bahwa agresi sebenarnya hanya merupakan suatu anggapan sosial tentang berbagai tingkah laku, tidak terlepas dari pemahaman dalam mengartikan suatu bentuk perilaku yang dilakukan kepada kita. Kiranya, penafsiran kita tentang sikap tidak agresif atau agresif bergantung pada pribadi, dan situasi sosial, seperti kepercayaan kita sendiri tentang agresi itu sendiri, konteks di mana tanggapan itu terjadi, intensitas tanggapan, identitas dan reaksi orang terlibat terbatas.
    Applefield (Shaffer, 1994), mendefi¬nisikan agresif sebagai tindakan yang disengaja yang mengakibatkan atau mempunyai kemungkinan mengakibatkan penderitaan fisik atau psikis pada orang lain atau kerusakan barang dan benda. Selanjutnya Bandura, menjelaskan lebih lanjut bahwa agresi adalah perilaku yang berakibat pada penderitaan orang lain dan kerusakan barang atau benda. Penderitaan tersebut dapat bersifat psikis maupun fisik.
    Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja yang mengakibat penderitaan fisik atau psikis pada orang lain atau kerusakan barang dan benda.
    Untuk lebih jelasnya, apakah perilaku anak itu dapat dikatagorikan agresif atau tidak, Bandura (Kim Fong Poon-McBrayer and Ming-gon John Lian, 2002) mengemukakan kriteria-kriteria yang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan agresif-tidaknya suatu perilaku anak, yaitu:
    a. Kualitas perilaku agresif, derajat atau ukuran, tingkatan perilaku agresif terhadap korban baik berupa serangan fisik atau psikis, membuat malu, merusak barang orang lain.
    b. Intensitas perilaku, sering-tidaknya melakukan tindakan-tindakan yang merugikan atau membahayakan korban.
    c. Ada kesengajaan, dalam melakukan tindakan agresif, ada niat yang tersurat, sengaja melakukan perilaku agresif. Karakteristik pengamat, yaitu orang yang memperhatikan perilaku agresif yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini akan beragam karena akan ditentukan oleh jenis kelamin, kondisi sosial-ekonomi, etnis, pengalaman perilaku agresif dsb.
    d. Pelaku menghindar ketika orang lain menderita sebagai akibat perbuatan¬nya, tidak ada prasaan bersalah atau berdosa.
    e. Karakteristik sipelaku itu sendiri, misalnya faktor usia, jenis kelamin, pengalaman dalam berperilaku agresif, dsb.
    Singkatnya, seorang anak dikatago¬rikan agresif atau tidak akan ditentukan oleh sipengamat itu sendiri yang cenderung subyektif, bobot dan kualitas perilaku agresif, kuantitas atau frekuensi perilaku agresif, ada kesengajaan (niat) untuk memenuhi kebutuhan, harus terlihat ada rasa tanggung jawab (menghindar) apabila diminta pertanggung jawaban, dan karakteristik sipelaku itu sendiri seperti faktor usia dan jenis kelamin.
    1. Faktor Penyebab
    Setiap perilaku baik itu bersifat agresif maupun non-agresif pasti ada faktor pendorong atau penyebabnya. Penyebab tersebut bersifat kompleks, tidak tunggal, melainkan kumulatif dari berbagai faktor. Seperti diuangkapkan Sigmun Freud (Davin R. Shaffer,1994) mempercayai bahwa kita semua lahir ke dunia disertai dengan naluri kematian (thanatos). Dimana di dalamnya termasuk segala perilaku kekerasan dan pengrusakan. Menurut pandangannya energi tersebut diperoleh dari makanan secara terus menerus dan berubah menjadi energi yang agresif dan sikap agresif ini yang harus dikeluarkan teratur pada jangka waktu tertentu untuk mencegah sikap mereka meningkat pada tingkatan yang berbahaya. Satu hal yang menarik Freud adalahbahwa dengan bersikap agresi dimana adakalanya berasal di dalam batin, menghasilkan beberapa bentuk dari diri penghukuman diri sendiri, perusakan, atau bahkan bunuh diri.
    Teori naluri yang kedua tentang agresi berasal dari Ethologist Konrad Lorenz (Shaffer,1994 ) yang membantah bahwa manusia dan binatang mempunyai naluri dasar berkelahi (agresif) yang digunakan untuk melawan terhadap sesamanya. Lorenz berpandangan juga bahwa agresi sebagai suatu sistim hidrolik dimana dapat menghasilkan energi sendiri. Tetapi ia percaya bahwa tindakan agresif secara berkelanjutan akan berkembang sampai pada pelepasan stimulus yang sesuai. Semua jenis naluri termasuk agresi, mempunyai dasar tujuan: untuk memastikan dapat bertahan hidup secara perseorangan dan atau kelompok.
    Menurut Bandura (Shaffer,1994) teori pembelajaran sosial berasumsi bahwa agresi sebagai suatu jenis yang spesifik dari tingkah laku sosial yang diperoleh dari pengalaman apa yang dilihat, didengar langsung (merupakan hasil belajar). Agresi digambarkan sebagai setiap perilaku diarahkan terhadap tindakan untuk melukai/ merusak/ merugikan orang lain.
    Kauffman (1985) memaparkan penyebab perilaku agresif dari berbagai sudut pandang teori secara holistik, yaitu faktor bilogis, psikodinamika, frustrasi-agresif, dan teori belajar sosial.
    a. Teori Biologis diasumsikan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku instink, respon kelainan hormon dan susunan kimiawi dalam tubuh, akibat getaran-getaran elektrik yang terjadi pada susunan syaraf pusat. Faktor biologis bukan satu-satunya yang mempengaruhi perilaku agresif.
    b. Teori Psikodinamika, agresif merupakan dorongan negatif dari agresi (id), karena lemahnya fungsi kesadaran individu yaitu ego dan superego. Teori frustrasi-Agresif, menjelaskan bahwa frustrasi selalu mengakibatkan perilaku agresif, dan perilaku agresif selalu bersumber dari kondisi frustrasi.
    c. Teori Belajar Sosial, bahwa perilaku agresif bersumber dari hasil belajar atau hasil peniruan (imitasi) dan hasil penguatan.
    Dari berbagai pandangan tersebut, bahwa penyebab seorang anak berperilaku agresif disebabkan oleh karena hasil imitasi dan penguatan dari lingkungan, ada kelainan hormon dan kelainan susunan kimiawi dalam tubuh, lemahnya ego dan superego dalam mengendalikan id, dan karena frustrasi yangtak terpecahkan sehingga mengalami gangguan emosi.
    2. Mengendalikan Perilaku Agresif pada Anak
    Perilaku agresif pada anak dapat diatasi, dikurangi bahkan untuk dihilangkan. Untuk membantu mereka agar terlepas dari perilaku agresif diperlukan teknik dan pendekatan yang komprehensif dan koordinatif. Adapun yang dapat kita lakukan, baik di sekolah maupun di rumah, di antaranya melalui berbagai metoda dan teknik sebagai berikut:
    Memahami dan menerima pribadi anak
    Pemahaman terhadap anak merupa¬kan hal mutlak, terlebih pemahaman terhadap anak agresif yang memerlukan bantuan. Setelah dipahami pribadi anak, kita berupaya untuk menerima apa adanya dan sebagaimana mestinya. Pemahaman dan penerimaan akan menumbuhkan sikap simpati dan mungkin empati pada kita/guru. Simpati dan empati akan menubuhkan kepercayaan, hal ini merupakan modal untuk mengarahkan perilaku-perilaku anak ke arah nonagresif.
    Ciptakan PAKEM.
    PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan), akan tercipta apabila program pembelajaran yang pleksibel, disesuaikan dengan kemampuan setiap anak, pengelolaan kelas yang memberikan rasa aman, kenyamanan dan menyenangkan. Dengan terciptanya PAKEM akan mengurangi kondisi-kondisi yang mendorong kegagalan sebagai benih frustrasi. Dengan terhidar dari sifat frustrasi berarti mengurangi perilaku agresif.
    Melakukan catharsis
    Melakukan catharsis yaitu menyalurkan perilaku agresif ke aktivitas yang positif dan terhormat, seperti anak yang suka menendang atau memukul teman-teman, merusak benda atau barang di sekitarnya, kita arahkan dan kembangkan motivasi untuk kegiatan bermain drama, sepak bola, bola volly, main hokey dsb. Anak yang suka memaki-maki, marah yang tidak terkendali, menghina, mencemooh orang lain, kita arahkan ke aktivitas yang positif, seperti membaca puisi, bermain peran atau drama, bernyanyi, berceritera dsb. Dengan kegiatan tersebut anak akan merasa puas dan energi agresif akan tersalurkan, terbebas dari membahayakan dirinya maupun orang lain, diterima oleh masyarakat dan mungkin menjadi kebanggaan bagi dirinya. Menurut Freud, energi agresif dapat dikeluarkan dan diterima pada kehidupan sosial seperti melalui pekerjaan atau permainan yang bertenaga, lebih sedikit aktivitas yang tidak diinginkan seperti menghina orang lain, perkelahian, atau pengrusakan.
    a. Menghapuskan pemberian imbalan.
    Menghapuskan pemberian imbalan atau istilah lain penguatan negatif, yaitu menghilangkan rangsangan yang tidak menyenangkan (hukuman) setelah ditampilkan perilaku yang diharapkan akan memperkuat munculnya frekuensi perilaku yang diharapkan tersebut. Penghilangan yaitu menahan ganjaran yang diharapkan seperti yang diberikan sebelumnya akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang semula mendapat penguatan. Penundaan berarti meniadakan ganjaran karena belum ditampilkan perilaku tertentu yang diharapkan, maka akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan.
    b. Strategi memperagakan/pelatihan
    Upaya yang dilakukan melalui peraga¬an atau penampilan dalam pemecahan suatu masalah yang tidak menggunakan perilaku agrasif. Tanggapan yang tidak cocok/bertentangan dengan agresi boleh juga ditanamkan dengan memperagakan atau strategi pelatihan. Ketika anak melihat suatu contoh dan memilih solusi yang tidak agresif terhadap suatu konflik atau dengan tegas dilatih dalam pemakaian metoda-metoda yang tidak agresif tentang pemecahan masalah, mereka menjadi lebih mungkin untuk menetapkan solusi yang serupa kepada permasalahan mereka sendiri. Pelatihan metoda yang efektif dalam mengatasi konflik secara berkesinambungan merupakan hal yang utama dan bermanfaat bagi anak yang agresif.
    Menciptakan lingkungan nonagresif
    Jika kita bermaksud untuk mengurangi timbulnya perilaku agresif pada anak, maka kita harus membebaskan lingkungan sekitar dari perilaku-perilaku agresif, menghilangkan rangsangan-rangsangan yang dapat menumbuhkan perilaku agresif. Misalnya dengan menghilangkan tontonan, bacaan, yang memperlihatkan kekerasan, keberutalan, kesadisan dsb, terutama film-film adegan-adengan yang ada pada TV, komik, dan bacaan lainnya.
    Mengembangkan sikap empati
    Anak-anak prasekolah dan individu sangat agresif lain bisa tidak berempati dengan korban-korban mereka. Mereka mungkin tidak merasa menderita walaupun merugikan orang lain (berperilaku agresif). Kita dapat membantu mengembangkan sikap empati mereka melalui contoh kegiatan, seperti: a) menunjukan konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya dari tindakan-tindakan anak yang agresif, b) menempatkan anak di tempat kejadian korban dan membayangkan bagaimana rasanya menjadi korban.
    Hukuman
    Apabila pendekatan-pendekatan di atas tidak efektif, maka dapat dilakukan dengan memberi hukuman yang bersifat mendidik dan manusiawi. Adapun pedoman yang harus dijadikan acuan apabila memberi hukuman yaitu:
    a) Gunakan hukuman hanya setelah metode koreksi positif telah gagal dan ketika membiarkan perilaku tersebut berlanjut akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang lebih serius daripada tingkat hukuman yang dilakukan.
    b) Hukuman harus digunakan hanya oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dan penuh kasih sayang terhadap anak ketika tingkah lakunya dapat diterima dan yang menawarkan banyak dukungan positif untuk perilaku non-agresif.
    c) Menghukum seperti apa adanya, tanpa kejengkelan, ancaman, atau melanggar moral.
    d) Hukuman harus bersifat adil, konsisten dan segera.
    e) Hukuman harus intens secara akal dan proporsional.
    f) Bila memungkinkan, hukuman harus melibatkan biaya respons (kehilangan hak-hak istimewa atau hadiah atau menarik diri dari perhatian) daripada perlakuan permusuhan.
    g) Bila memungkinkan, hukumannya harus terkait langsung dengan perilaku agresif, memungkinkan anak untuk membuat restitusi, dan/atau mempraktekkan perilaku alternatif yang lebih adaptif.
    h) Jangan langsung memberikan penguatan positif segera setelah hukuman, anak mungkin belajar berperilaku agresif kemudian menanggung hukuman untuk mendapatkan dukungan.
    i) Menghentikan hukuman jika tidak segera efektif.


    KESIMPULAN


    Perilaku agresif merupakan salah satu bentuk perilaku anak yang mengalami hambatan emosi dan sosial. Perilaku agresif berbeda dengan perilaku kekerasan. Perilaku agresif bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku dan harapan masyarakat sehingga dikatagorikan perilaku anti-sosial.
    Dampak perilaku agresif sangat merugikan anak itu sendiri maupun lingkungan, sehingga perlu dibantu untuk mengatasinya. Upaya tersebut dapat dilakukan secara koordinatif antara orang tua dan guru di sekolah.
    Untuk menetapkan apakah anak dikatagorikan berperilaku agresif atau tidak, kita dapat melihat dan mengacu pada kriteria: bobot dan kualitas dari perilaku agresif, kuantitas atau frekuensi perilaku agresif, ada-tidaknya kesengajaan dari subyek, adanya penghindaran atau tidak ada rasa tanggung jawab, penilaian dari pengamat yang cenderung subyektif (relatif), dan karakteristik pelaku itu sendiri, seperti faktor usia dan jenis kelamin.
    Penyebab seorang anak berperilaku agresif bersifat kompleks, di antaranya perwujudan dari: hasil imitasi dan penguatan dari lingkungan, ada kelainan hormon dan kelainan susunan kimiawi dalam tubuh, lemahnya ego dan superego dalam mengendalikan id, dan frustrasi yang tidak terpecahkan sehingga mengalami gangguan emosi.
    Upaya membantu mengatasi perilaku agresif pada anak dapat digunakan berbagai teknik atau cara, seperti: Pemahaman dan penerimaan terhadap pribadi anak, menciptakan PAKEM, mengembangkan katarsis, menghapuskan pemberian imbalan, strategi memperagakan/pelatihan, menciptakan lingkungan nonagresif, mengembangkan sikap empati, dan penghukuman. Teknik penghukuman sebaiknya dihindarkan, namun apabila terpaksa, hendaknya bersifat mendidik dan manusiawi, disadari, tidak emosional, dan penuh rasa tanggung jawab.


    DAFTAR PUSTAKA


    Breakwell. Glynis.M. 1998. Coping Aggressive Behaviour. Mengatasi Perilaku Agresif. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
    Kauffman, J.M. (1985). Characteristics of Childrens Behavior Disorder, Colombus: Charles C. Merillil.
    Kim Fong Poon-McBrayer and Ming-gon John Lian. (2002). Special Needs Education. Children With Exceptionalities. The Chinese University Press. Hongkong.
    Shaffer, R . Davin. 1994. Social and Personality Development. University Of Georgia Edisi 3 . New York: Brooks/Cole Publising Company.Pacific Grove, California.

    Label:





    Asesmen Keterampilan Menulis dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

    Tjutju Soendari
    Universitas Pendidikan Indonesia

    ABSTRAK
    Dalam konteks pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), asesmen berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seorang siswa, sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan dalam pembelajarannya. Dengan perkataan lain, asesmen digunakan untuk menentukan dan menetapkan dimana letak masalah yang dihadapi serta apa yang menjadi kebutuhan belajar seorang siswa saat ini. Kajian ini mendeskripsikan tentang asesmen keterampilan menulis bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pembahasan difokuskan pada penetapan ruang lingkup keterampilan menulis, bagaimana mengases dan menganalisis hasil asesmen keterampilan menulis.
    Kata Kunci: Asesmen, keterampilan menulis

    PENDAHULUAN

    Ketika seorang siswa mengalami kesulitan dalam keterampilan menuliskan sesuatu, maka guru seyogianya mampu mengases kemampuan siswa tersebut untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan. Monroe (1973) mengemukakan mungkin metoda terbaik dan paling mudah untuk guru dalam mengases kesulitan menulis adalah melalui suatu pendekatan inspeksi visual (a visual inspection approach), yaitu guru hanya mengamati siswa ketika ia membuat bentuk-bentuk huruf dan menentukan tindakan tertentu yang dalam proses pembentukan tersebut menyebabkan siswa tersebut mengalami kesulitan (Payne & Payne,1981:216). Di Negara-negara yang sudah maju banyak alat ukur keterampilan menulis yang dapat digunakan, seperti: Writing Our Language, Wide Range Achievement Test, dan the Slingerland. Tes-tes tersebut digunakan untuk menggali kesalahan-kesalahan dalam menulis secara spesifik dan digunakan sebagai alat informasi diagnostik tentang diri siswa. Namun walaupun demikian, guru tetap harus meneliti secara visual tulisan tangan siswa yang bersangkutan yang kemudian merencanakan bagaimana strategi dalam melaksanakan remediasinya.
    Secara umum, tampaknya tidak ada test formal untuk mengases keterampilan menulis seorang siswa, terutama keterampilan menulis untuk anak berkebutuhan khusus. Suatu tes visual yang secara tertutup (a close visual examination) kelihatannya dapat memberikan informasi yang memadai kepada para guru untuk membantu para ABK dalam mengembangkan atau meremediasi keterampilan menulis yang lebih spesifik. Pengembangan tentang keterampilan-keterampilan pramenulis sangat memerlukan ketajaman indera pendengaran dan penglihatan yang memadai, juga koordinasi antara berbagai modalities dengan gerak-gerak motorik. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memasuki sekolah formal, seorang ABK tidak diasumsikan memiliki ketajaman visual, auditory dan aktivitas motorik yang sama dengan anak-anak pada umumnya dimana mereka mungkin telah menguasainya pada saat masuk sekolah. Payne (1981:217) mengemukakan aktivitas yang sangat bermakna dalam program kesiapan (readiness program), di mana seorang siswa harus mampu memanipulasi berbagai obyek, seperti balok, manik-manik, kacang-kacangan dan baut-baut, dan sebagainya yang memungkinkan siswa mampu mengembangkan gerakan-gerakan yang akan memudahkan dalam mengembangkan keterampilan menulisnya. Guru dapat mendorong siswa melalui manipulasi berbagai obyek untuk membantu mengembangkan atau memperkuat kemampuannya seperti: menyentuh, menjangkau, menggenggam, dan melepaskan obyek. Kajian asesmen keterampilan menulis dalam pendidikan ABK ini membahas tentang bagaimana menetapkan ruang lingkup materi keterampilan menulis, bagaimana menyu¬sun kisi-kisi asesmen informal keterampilan menulis , dan bagaimana mengembangkan alat ukur asesmen informal keterampilan menulis berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat serta bagaimana melaksanakan dan menganalisis hasil asesmen informal keterampilan menulis dalam pendidikan ABK



    PEMBAHASAN


    Penetapan Ruang Lingkup Materi Keterampilan Menulis
    Yang dimaksud dengan asesmen keterampilan menulis adalah suatu proses dalam memperoleh informasi tentang penguasaan atau keterampilan menulis yang telah dimiliki siswa saat ini serta untuk menemukan kesulitan hambatan dalam mempelajari keterampilan menulis yang dialaminya. Adapun tujuan asesmen keterampilan menulis untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh keterampilan menulis apa yang telah dikuasai siswa dan keterampilan menulis apa yang belum dikuasai siswa. Dengan demikian hasil asesmen akan menjadi landasan bagi penyusunan program pembelajaran menulis siswa yang bersangkutan. Untuk dapat melakukan asesmen keterampilan menulis dengan baik, maka perlu pemahaman tentang pengertian keterampilan menulis.
    Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian menulis. Lerner (1985) mengemukakan bahwa menulis adalah menuangkan ide ke dalam suatu bentuk visual. Tarigan (1986) menjelaskan bahwa menulis adalah melukiskan lambang-lambang grafis dari bahasa yang dipahami oleh penulisnya maupun orang-orang lain yang menggunakan bahasa yang sama dengan penulis tersebut. Sedangkan Hargrove & Poteet (1984) mengemukakan bahwa menulis merupakan penggambaran visual tentang pikiran, perasaan dan ide dengan menggunakan simbol-simbol sistem bahasa penulisnya untuk keperluan komunikasi atau mencatat. Dari sekian banyak pendapat di atas Mulyono Abdurahman (1996:192) menyimpulkan bahwa menulis merupakan: (a) salah satu komponen system komunikasi, (b) penggambaran pikiran, perasaan, dan ide ke dalam bentuk lambang-lambang bahasa grafis, dan (c) dilakukan untuk keperluan mencatat dan komunikasi.
    Untuk dapat melaksanakan asesmen keterampilan menulis dan menyusun program yang baik, guru perlu mengetahui secara umum organisasi materi keterampilan menulis dan jenis-jenis keterampilan yang terkait. Pada dasarnya materi keterampilan menulis mencakup empat keterampilan, yaitu: (a) keterampilan pramenulis, (b) keterampilan menulis permulaan, (c) keterampilan mengeja, dan (d) keterampilan menulis lanjutan (mengarang)(Sunardi,1997).
    Selanjutnya Sunardi (1997:4) mengemukakan bahwa keterampilan pramenulis mencakup: (a) meraih, meraba, memegang, dan melepas benda, (b) mencari perbedaan dan persamaan berbagai benda, bentuk, warna, bangun, dan posisi, (c) menentukan arah kiri, kanan, atas, bawah, depan, dan belakang. Sedangkan keterampilan menulis dengan tangan (permulaan) meliputi: (a) memegang alat tulis, (b) menggerakkan alat tulis (atas-bawah,kiri-kanan,melingkar), (c) menyalin huruf, kata, kalimat dengan huruf balok, (d) menulis namanya dengan huruf balok, (e) menyalin huruf balok dari jarak jauh, (f) menyalin huruf, kata, kalimat dengan tulisan bersambung, dan (g) menyalin tulisan bersambung dari jarak jauh. Adapun keterampilan mengeja mencakup: (a) mengenal huruf abjad, kata, (b) mengucapkan kata yang diketahuinya, (c) mengenal perbedaan/persamaan konfigurasi kata, (d) mengasosiasikan bunyi dengan huruf, (e) mengeja kata, (f) Menemukan aturan ejaan kata, dan (g) menuliskan kata dengan ejaan yang benar.
    Adapun keterampilan menulis lanjut atau ekspresif (mengarang) seperti yang dikemukakan Moh.Amin (1995) meliputi: (a) reproduksi, (b) deskripsi (uraian), (c) ciptaan dan (d) karangan Penjelasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam membuat karangan reproduksi, siswa menceriterakan kembali karangan yang telah dibuat oleh orang lain. Siswa tidak perlu menyebutkan kembali semua kata yang terdapat pada teks bacaan aslinya. Siswa boleh menggantinya dengan kata-kata yang dipilihnya dan boleh membuang bagian-bagian yang dianggap kurang penting atau menambahkan bagian-bagian yang dianggapnya lebih memperjelas maksud karangan. Karangan reproduksi ini penting, karena: (a) mengimbangi gagasan yang belum dapat siswa susun sendiri sehingga memberikan kesempatan berlatih menyatakan pikiran, perasaan, dan kehendak sekalipun mereka belum dapat menyusunnya sendiri, dan (b) waktu mereproduksikan karangan orang lain, siswa melihat bagaimana cara orang lain menyusun perasaan, pikiran dan kehendak.
    Pada karangan uraian (deskripsi) siswa berlatih mengemukakan sesuatu sebagaimana adanya. Disini siswa sudah tidak hanya menyatakan kembali pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain lagi, melainkan merumuskan kenyataan-kenyataan menjadi kata-kata dan kalimat. Misalnya tentang apa yang dilakukannya sebelum pergi sekolah, apa yang dilihatnya di jalan, dan sebagainya. Jenis karangan ini lebih sulit dari pada karangan reproduksi. Disamping harus merumuskan kenyataan menjadi kata-kata dan kalimat, dalam karangan ini siswa harus juga menentukan dari mana akan memulai dan di mana akan berakhir.
    Dalam karangan ciptaan, siswa harus merumuskan pikiran, perasaan, dan kehendak yang tidak dirumuskan dahulu oleh orang lain. Kenyataan-kenyataan mungkin masih dipergunakannya sebagai bahan, akan tetapi harus diberinya warna baru. Dalam membuat karangan ciptaan, siswa harus merumuskan apa yang sebenarnya sedang tidak terjadi. Misalnya membuat surat permisi karena sakit padahal dalam keadaan sehat, menyatakan apa yang akan dikerjakannya kalau sudah besar padahal masih kanak-kanak, dan sebagainya.
    Dalam karangan penjelasan, siswa menjelaskan mengapa sesuatu dikerjakan atau harus dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan pekerjaan itu, dan sebagainya. Judul karangan ada yang menarik minat siswa ada juga yang tidak. Judul menarikpun ada yang sukar dikarang apalagi yang tidak menarik. Menurut hasil penelitian hal-hal yang menarik perhatian anak usia 7-10 tahun ialah pengalaman pribadi, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan perubahan musim, dongeng, permainan, hal-hal yang berkenaan dengan anak dan orang tuanya, hal-hal mengenai binatang, dan ceritera tentang orang-orang istimewa atau terkenal. Selanjutnya hal-hal yang menarik perhatian anak usia 11 tahun atau lebih ialah pengalaman sendiri, pengalaman pergi dan petualangan, olah raga dan kelakuan di luar ruang kesusasteraan, ceritera binatang, kehidupan di rumah, hobi, peristiwa-peristiwa hangat, cerita orang-orang ternama, dan khayal; sedangkan hal-hal yang jarang menarik perhatian anak adalah pembicaraan mengenai kesehatan, kemasyarakatan, kenegaraan, penjelasan-penjelasan tentang peribahasa dan kata-kata mutiara, penjelasan-penjelasan yang sering menge¬nai benda-benda seperti payung, kaos kaki, dan sebagainya.
    Asesmen Informal Keterampilan Menulis
    Keterampilan menulis bersifat multidiensi, sehingga tidak dapat diukur secara tepat hanya dengan menghitung skor atau kualitas komposisi tulisan siswa. Seperti halnya keterampilan membaca, sebenarnya dapat dikembangkan tes-tes yang berstandar untuk mengukur keterampilan menulis. Namun demikian, di Indonesia masih sulit dicari tes-tes semacam itu. Oleh karena itu, guru harus mengadakan asesmen secara informal. Artinya, guru itu sendiri yang menyusun, memberikan, dan menafsirkan hasil asesmen sendiri. Dengan pengetahuan guru tentang ruang lingkup materi keterampilan menulis, guru dapat dengan mudah menyusun asesmen informal baik dalam bentuk daftar atau tabel. Berikut dikemukakan contoh kisi-kisi asesmen informal keterampilan menulis berdasarkan ruang lingkup materi di atas.



    Tabel 1
    Contoh Kisi-kisi Asesmen Informal Keterampilan Menulis

    Ruang lingkup Penjabaran Materi
    Pramenulis a. Meraih, meraba, memegang, dan melepas benda
    b. Mencari perbedaan/persamaan berbagai obyek,bentuk, warna, ukuran


    Menulis Permulaan a. Memegang alat tulis
    b. Menggerakkan alat tulis (atas-bawah,kiri-kanan,melingkar)
    c. Menyalin huruf, kata, kalimat dengan huruf balok
    d. Menulis namanya dengan huruf balok
    e. Menyalin huruf balok dari jarak jauh
    f. Menyalin huruf, kata, kalimat dengan tulisan bersambung
    g. Menyalin tulisan bersambung dari jarak jauh

    Keterampilan Mengeja a. Mengenal huruf abjad, kata (misalnya,dari namanya sendiri)
    b. Menuliskan kata yang diketahuinya
    c. Mengenal perbedaan/persamaan konfigurasi/bentuk kata
    d. Mengasosiasikan bunyi dengan huruf
    e. Mengeja kata
    f. Menemukan aturan ejaan kata
    g. Menuliskan kata dengan ejaan yang benar

    Keterampilan (Menulis Lanjut) Mengarang a. Reproduksi
    b. Deskripsi (uraian)
    c. Ciptaan
    d. Penjelasan



    Selain yang dikemukakan di atas, guru dapat pula membuat kisi-kisi asesmen informal keterampilan menulis berdasarkan kurikulum yang berlaku saat ini. Berikut dikemukakan contoh kisi-kisi instrumen asesmen keterampilan menulis berdasarkan KTSP PP No.22 dan 23 Tahun 2006.


    Tabel 2
    Contoh Kisi-kisi Asesmen Informal Keterampilan Menulis
    (Kls 1/Smt 1 SD/MI Berdasarkan KTSP PP No.22 dan 23 Tahun 2006)

    Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator
    Menulis permulaan dengan menjiplak, menebalkan, mencontoh, melengkapi, dan menyalin 1.1 Mempersiapkan diri untuk belajar dasar-dasar menulis (Melemaskan otot tangan) 1. Meniru gerakan
    2. Menulis di udara
    3. Menebalkan bentuk benda
    4. Menirukan gerakan (naik, turun, berkelok)
    5. Membentuk gambar benda
    6. Menebalkan gambar
    1.2. Menebalkan berbagai bentuk gambar, bentuk huruf, dan kata 1. Menebalkan huruf
    2. Menebalkan kata
    3. Melengkapi suku kata menjadi kata
    1.3.Mencontoh huruf, kata, atau kalimat sederhana dari buku atau papan tulis 1. Menebalkan huruf
    2. Mencontoh tulisan huruf dengan menyalin
    3. Mencontoh tulisan kata dengan menyalin
    4. Mencontoh tulisan kalimat sederhana dengan menyalin
    5. Melengkapi kata dengan huruf yang tepat
    6. Melengkapi kalimat sesuai dengan gambar



    1.4. Menebalkan gambar, mencontoh huruf, kata, atau kalimat sederhana 1. Menulis huruf dengan rapi
    2. Menulis dan menyalin kata dengan rapi
    3. Melengkapi kalimat
    1.5. Mencontoh huruf, kata, atau kalimat sederhana dari buku atau papan tulis 1. Menebalkan dan mencontoh kalimat
    2. Mencontoh kalimat
    3. Melengkapi kata
    4. Melengkapi kalimat
    5. Menyusun kalimat acak
    1.6 menyalin kalimat sederhana dengan huruf lepas 1. Menulis kata sesuai gambar
    2. Menyalin kalimat
    3. Melengkapi kalimat


    Pengembangan Alat Ukur Asesmen Informal Keterampilan Menulis
    Pengembangan alat ukur asesmen informal keterampilan menulis dibuat berdasarkan kisi-kisi yang telah disusun. Dengan demikian kisi-kisi yang telah tersusun akan menjadi landasan dalam pembuatan alat ukur tersebut. Alat ukur dikembangkan berdasarkan indikator-indikator yang telah dijabarkan dari subkomponen keterampilan menulis yang telah dipahami baik pengertiannya maupun ruang lingkupnya. Terdapat beberapa bentuk asesmen informal keterampilan menulis (Resmini,N, 2010:813), yaitu: portofolio, rubrik, cuplikan kerja, diskusi, catatan anekdotal, jurnal, contoh tulisan, observasi dan checklist (penandaan). Sunardi (1997:7) mengemukakan bahwa untuk keterampilan menulis terkecuali asesmen keterampilan pramenulis, asesmen yang paling praktis adalah menganalisis sampel hasil tulisan siswa. Disarankan paling tidak tiga sampel tulisan siswa, yaitu tulisan dalam kondisi normal, tulisan terbaik, dan tulisan tercepat Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini.


    Tabel 3
    Contoh Pengembangan Alat Ukur Asesmen Informal
    Keterampilan Pramenulis

    IDENTITAS SISWA
    Nama : Kelas :
    Usia / jenis kelamin : Sekolah :

    Pokok
    Bahasan Sub Pokok Bahasan Alat Ukur Kemampuan Keterangan
    Dpt Tdk
    1. Pra¬menulis


    a. Meraih, meraba, memegang, dan melepaskan benda 1)Siswa diminta untuk mengambil obyek-obyek kecil yang disediakan asesor/guru
    2) Siswa diminta untuk meraba obyek-obyek kecil yang disediakan asesor/guru
    3) Siswa diminta untuk memegang obyek-obyek kecil yang disediakan asesor/guru
    4) Siswa diminta untuk melepas/menja¬tuhkan/membuang obyek-obyek kecil yang disediakan asesor/guru

    Tabel 4
    Contoh Pengembangan Alat Ukur Asesmen Informal
    Keterampilan Mengeja

    IDENTITAS SISWA
    Nama : Kelas :
    Usia / jenis kelamin : Sekolah :

    SAMPEL
    TULISAN Tugas 1. Mengenal huruf abjad, kata
    a. Tulislah namamu sendiri!
    Kondisi normal
    Tulisan terbaik

    Tulisan tercepat


    Tabel 5
    Contoh Pengembangan Alat Ukur Asesmen Informal
    Keterampilan Menulis Lanjut (Mengarang)

    IDENTITAS SISWA
    Nama : Kelas :
    Usia / jenis kelamin : Sekolah :

    Tugas (karangan reproduksi): Tulislah apa yang kamu pahami dari teks bacaan yang tersedia di bawah ini! (Guru/asesor menyediakan teks bacaan sesuai dengan tingkat/kelas siswa yang bersangkutan)






    Pelaksanaan dan Analisis Hasil Asesmen Keterampilan Menulis
    Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa untuk keterampilan menulis, terkecuali asesmen keterampilan pramenulis, asesmen yang paling praktis adalah menganalisis sampel hasil tulisan siswa. Oleh karena itu prosedur pelaksanaan asesmen keterampilan menulis yang pertama adalah meminta sampel hasil tulisan siswa. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan sebelum siswa melakukan tugas yang diminta, yaitu: a) berikan pengarahan yang jelas, b) berikan Lembar Kerja Siswa (LKS), dan c) bubuhkan identitas siswa. Kedua, Guru/asesor mengamati proses menulis siswa. Ada beberapa komponen yang dapat diamati dalam pelaksanaan asesmen keterampilan menulis (Sunardi, 1997), di antaranya: a) memegang pensil dengan benar, b) arah menulis (dari kiri ke kanan), c)posisi kertas/buku, d) posisi duduk siswa, e) jarak mata dengan kertas/buku, f) kondisi siswa saat menulis (tegang, frustrasi, emosional), dan g) sikap yang ditunjukkan siswa (negatif, bosan, mengganggu ). Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel pengamatan proses menulis siswa berikut ini.


    Tabel 6
    Komponen yang Dapat Diamati dalam Pelaksanaan Asesmen Keterampilan Menulis (Sunardi, 1997)


    Komponen yang diamati Hasil Keterangan
    Tepat Kurang tepat Tidak tepat
    1. Memegang pensil dengan benar
    2. Arah menulis (dari kiri ke kanan)
    3. Posisi kertas/buku
    4. Posisi duduk siswa
    5. Jarak mata dengan kertas/buku
    6. Kondisi siswa saat menulis (tegang, frustrasi, emosional)
    7. Sikap yang ditunjukkan siswa (negatif, bosan, mengganggu).


    Langkah selanjutnya adalah menganalisis sampel hasil tulisan siswa. Adapun aspek-aspek yang dianalisis antara lain adalah bentuk huruf/kata, ukuran, letak dan proporsi huruf, konsistensi jarak antar huruf, konsistensi tebal-tipis huruf, konsistensi tegak-miring huruf, dan kecepatan dalam menulis. Adapun aspek-aspek untuk menganalisis hasil asesmen keterampilan mengarang, diantaranya adalah aspek kelancaran, kosakata, struktur dan tanda baca, dan isi karangan yang meliputi: ketepatan, kekayaan ide, dan organisasi.


    KESIMPULAN

    Secara garis besar organisasi materi keterampilan menulis mencakup empat keterampilan besar, yaitu: keterampilan pramenulis, keterampilan menulis permulaan, keterampilan mengeja, dan keterampilan menulis lanjutan (mengarang). Terdapat empat jenis karangan, yaitu karangan reproduksi, karangan uraian, karangan ciptaan, dan karangan penjelasan.
    Ada beberapa hal yang dapat diamati pada saat pelaksanaan asesmen keterampilan menulis, di antaranya adalah: Memegang pensil dengan benar, arah menulis (dari kiri ke kanan), posisi kertas/buku, posisi duduk siswa, jarak mata dengan kertas/buku, kondisi siswa saat menulis (tegang, frustrasi, emosional), sikap yang ditunjukkan siswa (negatif, bosan, mengganggu).





    DAFTAR PUSTAKA
    Abdurahman, Mulyono, (2001).Pendidikan bagi Anak berkesulitan Belajar, Jurusan PLB UNJ Jakarta.
    Abdurahman, Mulyono dan Estiningsih, E.(1997).Menangani Kesulitan Belajar Berhitung, Jakarta: Depdikbud.
    Amin, Moh. (1995).Ortopedagogik anak tunagrahita, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
    Depdiknas (2006).Standar Isi, Standar kompetensi Lulusan, dan Panduan Penyusunan KTSP Sekolah Dasar, Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan-Dikti.
    Hargove, Linda J & Poteet, James A. (1984).Assesment in Special Education, The Education Evaluation, New Jersey, Prentice Hall, Inc.
    Hargove, Linda J and Poteet, James A (1984), Assesment children, introduction to special education, Boston : Alyn Bacon.
    Lerner, Janet,W. (1989).Learning Disabilities, Teories, Diagnosis, and teaching Strategies, USA: Houghton Mifflin Company.
    McLoughlin,James,A. & Lewis, Rena,B (1981).Assessing Special StudentsStrategies and Procedures, USA: Merril Publishing Company.
    Mercer Cecil D & Mercer, Ann,R (1989), Teaching student with Learning Problems, , USA: Merill Publishing Company.
    Myers, Patricia (1986). Methods for Learning disorder, New York: John Wiley and Sons
    Payne & Payne (1981).Strategies for Teaching Mentally Retarded 2nd, USA: Charles E.Merrill Publishing Company.
    Resmini, N.(2010).Asesmen dalam Pengajaran Menulis di Sekolah Dasar, dalam Proceeding 2nd International Seminar 2010 Practice Pedagogic in Global Education Perspective, Bandung: UPI
    Rochyadi & Alimin, Z (2005).Pengembangan Program Individual Bagi Anak Tunagrahita, Jakarta: Depdiknas.
    Rochyadi & Soendari (2001).Tingkat Penerapan dan pemahaman Program Individualisasi Pendidikan (IEP) Oleh Guru-guru SLB di Kodya Bandung, Jakarta: Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan, Dikti.
    Soendari, T (1996).Penerapan Program Individualisasi dalam Pengajaran Berhitung bagi Anak Luar Biasa, (Makalah disajikan dalam P2M pada Guru-guru SLB di Kodya Bandung).
    Suaheri, HN. (1987).Ortodidaktik Anak Tunagrahita III, Jurusan PLB- FIP- IKIP Bandung.
    Sunardi & Muchlisoh (1997).Menangani Kesulitan Belajar Membaca, Jakarta: Depdikbud.
    Yusuf, Munawir, dkk (1997).Mengenal Siswa Berkesulitan Belajar, Jakarta: Depdikbud.

    Label:





    Pembelajaran Menulis dengan Pendekatan Menulis Proses bagi Siswa Tunarungu

    Endang Purbaningrum dan Yuliyati
    Universitas Negeri Surabaya

    ABSTRAK

    Menulis merupakan keterampilan akademik dan alat komunikasi yang signifikan bagi siswa tunarungu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran menulis dengan pendekatan proses, terutama dalam keterampilan menyusun kalimat, paragraf, dan dalam mendeskripsikan hal-hal yang konkrit secara spontan. Penelitian dilakukan melalui studi eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretest – posttest. Sampel penelitian adalah 20 siswa kelas tinggi di SLB Karya Mulia Surabaya. Hasil evaluasi normalitas menunjukkan bahwa kondisi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol homogen dengan p = 0.200. Hasil uji t sampel bebas, menunjukkan bahwa antara kelompok perlakuan dan dengan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna, baik dalam kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragaraf maupun dalam kemampuan menulis spontan deskripsi benda konkret. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pembelajaran menulis dengan pendekatan proses lebih besar pengaruhnya pada peningkatan performansi siswa tunarungu dibandingkan pembelajaran menulis transisional yang diterapkan guru.
    Kata kunci: Pembelajaran menulis, menulis proses, tunarungu.


    PENDAHULUAN


    Keterampilan menulis bagi siswa tunarungu (STR) merupakan hal mendasar dan penting sebab dalam proses belajar mengajar, menulis merupakan alat utama unjuk kerja tugas-tugas akademik, sarana berharga memperdalam pengetahuan, memperluas wawasan, metode efektif menggali ide, mengasah daya pikir siswa, juga merupakan prasyarat STR untuk dapat berintegrasi ke sekolah umum melalui pendidikan terpadu atau inklusi (Depdinas,2001). Namun, bagi STR keterampilan menulis merupakan pemerolehan bahasa yang sulit dan memberikan frustrasi besar (Quigley & Paul, 1984).
    Penyebab kesulitan tersebut karena STR telah kehilangan kemampuan mendengar. Ketidakmampuan mendengar secara otomatis menghambat keseluruhan perkembangan berbahasa berbicara, membaca, dan menulis. Meskipun demiki¬an, menurut Kretschmer & Kretschmer (1978) umumnya STR mempunyai potensi untuk belajar berbahasa secara normal, mencakup kefasihan dalam berkomunikasi antar pribadi, kemampuan membaca deretan bahan cetak dan kemampuan menulis kalimat runtut. Kemampuan menulis STR dapat berkembang bila seluruh potensinya dibina dan dikembangkan. Melalui penggunaan bahasa isyarat dan optimalisasi penyerapan visual dengan visualisasi pola-pola pembelajaran (gambar, foto, benda konkret, diagram, dsb), pemanfaatan sisa pendengaran, bina persepsi bunyi dan irama (BPBI), berbicara, membaca, dan menulis (Berk & Winsler, 1995:88).
    Potensi keterampilan menulis STR dalam kenyataannya belum dikembangkan secara maksimal oleh guru-guru tunarungu. Hal itu terbukti dengan temuan beberapa penelitian dan kajian awal yang telah dilaksanakan. Di antaranya penelitian Balitbang Depdikbud yang dilaksanakan sejak tahun 1960-1981 menunjukkan bahwa rata-rata pertahun jumlah STR yang mampu berintegrasi ke sekolah umum sekitar 0.12 % dari jumlah STR yang bersekolah (Tangyong & Belen, 1986). Padahal penelitian Parving (1992) tentang intervensi dini pengembangan bahasa ATR, menunjukkan banyaknya siswa tunarungu yang mampu berintegrasi ke sekolah umum di Amerika, dengan rincian: 80 % bagi anak dengan tingkat ketunarunguan kurang dari 75dB, dan 11 % bagi anak dengan ketunarunguan di atas 75 dB. Bila dibandingkan, nampaklah bahwa anak tunarungu Indonesia sangat sedikit prosentasenya yang mampu berintegrasi ke sekolah umum. Sedikitnya jumlah tersebut karena rendahnya kemampuan berbahasa, terutama kemampuan menulisnya.
    Dari pengamatan pelaksanaan pembelajaran di SLB-B/SDLB-B dan diskusi dengan mahasiswa penyetaraan (guru-guru STR se Jawa Timur) di PLB Universitas Negeri Surabaya menunjukkan kurangnya perhatian terhadap pembelajaran menulis dan rendahnya keterampilan menulis STR. Secara ringkas dikemukakan sebagai berikut: (1) umumnya guru-guru tunarungu mengeluh kesulitan mengajarkan menulis (mengarang); (2) pengajaran mengarang kurang mendapat perhatian guru dibandingkan dengan pengajaran berbicara, (3) struktur tulisan siswa terbolak-balik, (4) siswa kurang lancar dalam mengembangkan karangan, dan banyak membuat kesalahan bentuk konvensional.
    Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut adalah penerapan pembelajaran menulis dengan pendekatan proses sebab pendekatan tersebut menekankan menulis dengan pelibatan penuh perhatian siswa dalam perencanaan pada tahap pramenulis, pengajaran langsung keterampilan saat menulis, dan bantuan melalui pelatihan (Stahlman & Luckner, 1991: 316).
    Pendekatan menulis prosesdilandasi filsafat ‘whole language’ yang memandang hakikat pembelajaran secara holistik. Berdasarkan filsafat tersebut, Goodman (1986:38) mengemukakan prinsip pembelajaran menulis sebagai berikut: (1) penulis harus memiliki cukup informasi rinci tentang hal-hal yang mereka tulis agar dipahami pembaca mereka; (2) tiga sistem bahasa berinteraksi dalam bahasa tulis: grapoponik (bunyi dan pola huruf), sintaksis (pola-pola kalimat), dan semantik (makna). Ketiganya dapat dikaji dalam membaca dan menulis, tetapi ketiganya tidak dapat dipisah tanpa abstraksi non-bahasa. Tiga sistem tersebut beroperasi dalam konteks pragmatik, situasi praktis kegiatan membaca dan menulis. Konteks tersebut juga memberikan kontribusi terhadap keberhasilan dan kegagalan dalam membaca atau menulis; (3) pengekspresian makna selalu ingin dicapai oleh penulis, (4) penulis sangat dibatasi oleh hal-hal yang telah diketahuinya.
    Pada dasarnya pembelajaran menulis proses difokuskan pada tiga aspek menulis, yaitu: tujuan, proses, dan produk. Guru tunarungu dalam membelajarkan menulis dituntut melibatkan tiga aspek tersebut melalui: (1) membangun kesempatan siswa menulis bagi audien nyata dan tujuan-tujuan yang berbeda; (2) menyediakan lingkungan menulis dengan perhatian tinggi, siswa aktif terlibat dalam proses menulis; dan (3) memberikan pengajaran langsung pada semua aspek menulis.
    Pembelajaran menulis proses dalam satu siklus meliputi beberapa tahap. Beberapa penulis (Hayes & Flower,1980; Noid, 1981; Isaacson & Luckner, 1988; dalam Sthalman & Luckner, 1991; Norton & Norton) setuju dengan tiga tahap menulis, yaitu: pramenulis/ perencanaan; saat menulis, pascamenulis/revisi. Tompkins mengemukakan lima tahapan, meliputi: prewriting, drafting, revising, editing, dan publishing. Perbedaan tersebut mengandung esensi yang sama.
    Pada tahap “pramenulis” aktivitas difokuskan pada pengembangan isi dan ide, pengembangan dan pengurutan (Norton & Norton, 1994). Lebih rinci Tompkins (1993: 10) mengemukakan bahwa kegiatan siswa pada tahap pramenulis, meliputi: memilih topik, mengumpulkan dan mengorganisasikan ide, mengidentifikasi audien dan tujuan aktivitas menulis, memilih bentuk tulisan yang tepat sesuai audien dan tujuan. Mengembangkan ide dan isi ditekankan pada strategi-trategi seperti mengamati, meneliti, mengalami, curah pendapat atau ‘brainstorming’, membuat daftar, membuat rincian, membaca, dramatisasi, pemetaan (‘mapping’), membuat kerangka, dan menonton audio visual. Aktivitas pengembangan dan pengurutan mencakup: membuat rincian, alasan, contoh-contoh, kronologi, urutan ruang, hal-hal penting, kelogisan, pengklasifikasian, penerapan kebenaran umum, generalisasi, dan urutan sebab akibat.
    Pada tahap “saat menulis” siswa diarahkan untuk mengembangkan keteram¬pil¬an menulisnya dengan memperhatikan aturan retorik dan pilihan bahasa. Berdasarkan aturan retorik siswa menyesuaikan pilihan kata sesuai respek audiens, tujuan dan bentuk tulisan. Berdasarkan pilihan kata, siswa menentukan pilihan kata, penggunaan bahasa figuratif, struktur kalimat dan sintaksis (Norton & Norton, 1994). Tahap “saat menulis” oleh Tompkins disebut “drafting”. Kegiatan siswa pada tahap ini adalah siswa membuat draft kasar, siswa menulis diarahkan pada minat pembaca yang ditujunya, dan siswa menekankan isi dari pada mekanik. Pada tahap “pascamenulis” aktivitas siswa meliputi revisi dan highlighting. Dalam aktivitas revisi penulis memperoleh tanggapan dari teman sekelas, bertanya, mengembangkan dan atau menjelaskan, mencocokkan dengan kriteria tertentu, memeriksa dan menyempurnakan tulisan. Aktivitas highlighting meliputi penerbitan, membaca, dan cara lain membahas hasil karangan (Norton & Norton, 1994).
    Strategi Pembelajaran Menulis dengan Pendekatan Proses
    Strategi pembelajaran menulis berkaitan dengan upaya-upaya pengefektif¬an KBM sesuai tahapan menulis proses agar efektivitas belajar menulis maksimal, mencakup strategi pengajaran dan strategi penunjang. Strategi pengajaran merupakan teknik guru dalam menyampaikan materi pelajaran atau pola umum aktivitas guru-siswa dalam perwujudan peristiwa belajar sesuai tahapan menulis. Strategi penunjang merupakan pendukung keterlaksanaan pembelajaran
    Strategi Pengajaran Tahap Pramenulis
    Strategi yang dimanfaatkan pada tahap pramenulis meliputi: curah pendapat, mengamati, dan pemetaan. Curahpendapat merupakan salah satu cara yang baik dalam membangkitkan skemata siswa, meliputi: pemilihan topik, mendaftar dengan cepat kata dan frase yang muncul dalam merespon topik, menemukan hubungan ide-ide dalam daftar dan tidak memberikan penilaian salah atau benar pada butir-butir ide tersebut (Tompkins, 1994: 29). Pengamatan merupakan cara mengumpul¬kan informasi melalui pemanfaatan indera, baik indera penglihatan pendengaran, penciuman, peraba, perasa atau pencecap. Pengkluster¬an atau ‘webbing’ merupakan salah satu strategi dalam membantu siswa memulai menulis (Rico, 1983 dalam Tompkins, 1994:30). Prosesnya sama dengan curah pendapat, perbedaannya ide-ide dalam pemetaan disusun melingkar dengan garis penghubung. Pelaksanaannya meliputi: pemilihan topik, menuliskan topik atau inti di tengah kertas, melingkari topik dan menambahkan ide pokok di sekitar topik dalam bentuk lingkaran, menambah¬kan rincian pada tiap ide utama. Manfaat pemetaanan pada dasarnya untuk mengungkap¬kan sebanyak mungkin hubung¬an antar ide dalam topik. Strategi ini membantu siswa menemukan hal-hal yang mereka ketahui tentang topik. Ide-ide dipicu dengan menghubungkan antar ide yang satu dengan yang lain. Fungsi pemetaan sama dengan kerangka karangan, bedanya aktivitas dalam pemetaan lebih menyenang¬kan, bermakna, dan bermanfaat bagi siswa. Tompkins (1994) menawarkan empat bentuk pemetaan, yaitu: peta cerita, 6 pertanyaan, laporan, dan pancaindera.
    Strategi Pengajaran pada Tahap Saat Menulis
    Strategi yang diterapkan di antaranya adalah pemodelan, dan konferen. Pemodelan adalah pemberian model tulisan yang baik untuk memberi kesempatan pada siswa memeriksa bahasa tulis (Ewoldt, 1985 dalam Stahlman dan Luckner, 1991). Model juga memberikan contoh positif tentang gaya dan contoh teks yang tepat. Lebih penting dari model teks adalah model proses. Proses pemodelan dimulai dari tahap pramenulis. Guru dapat sharing dengan siswa tentang topik dari minat pribadi. Selanjutnya mendaftarnya dan memilih yang sesuai atau mendekati pilihan siswa. Mencatat kata-kata atau frase dan menambahkan informasi penting. Guru juga harus mendemonstrasikan pemodelan secara operasional, menunjukkan ide-ide, kerangka karangan, pola-pola catatan dalam kalimat yang tepat, menyuarakan pikiran atau ‘think aloud’. Akhirnya guru harus meninjau kembali model dan merevisi strategi pembelajarannya. Konferenmerupakan prosedur yang baik dalam membantu penulis pemula menjadi penulis terampil (Graham & Harris, 1988; Graves, 1983). Parry & Hornsby (1985:19) menyatakan bahwa konferen memberi kesempatan kepada siswa mengembangkan sikap positif, kritis, dan saling percaya antara siswa yang satu dengan yang lain, di samping memberi kesempatan siswa praktik keterampilan berbahasa terpadu. Selama konferen guru sebagai kolaborator, memberikan petunjuk dan mengarahkan apa yang harus dikatakan dan dilakukan. Hal ini penting agar tercipta komunikasi. Selama konferensi guru dapat bertanya tentang hal-hal yang ditulis siswa, bertanya tentang proses menulisnya, memberikan waktu untuk menanggapi dan merefleksikan kembali hal-hal yang telah didiskusikan dalam konferen, menunjukkan kekuatan siswa sebelum menunjukkan kelemahan¬nya, menemukan hal-hal positif untuk dikomentari, membahas kesulitannya dan memberikan jalan keluar. Selama konferen guru dapat memfokuskan pada salah satu hal yang dianggap tepat untuk setiap siswa Graves (1983) berpendapat bahwa konferen harus mengikuti karakteristik spesifik, meliputi: dapat diramalkan atau ‘predictability’, terfokus, mendemonstra¬sikan jalan keluar, peranan terbalik, dan struktur permainan. pelaksanaan konferen variatif, yaitu: konferen individu, konferen kelompok, konferen kelompok kecil, dan konferen publikasi.
    Strategi Pengajaran pada TahapPascamenulis
    Fokus pembelajaran pada tahap ini adalah perbaikan dan publikasi. Ditinjau dari subjek pelibatnya perbaikan menulis proses meliputi perbaikan dari guru dan perbaikan antar siswa. Perbaikan dari guru dilaksanakan dengan memberikan balikan atau feed back lisan dan tulis.Perbaikan antar siswa meliputi: perbaikan dengan pemberian kemudahan, dan permainan. Publikasi memberi kesempatan calon pembaca mentransformasi tulisan dan penghargaan kepada penulis untuk mengenalkan hasil kerjanya. Publikasi juga menunjukkan pencapaian dan kemajuan unjuk kerja menulis untuk disampaikan kepada orang tua. Dahl (1985) menyatakan bahwa publikasi tidak hanya untuk penulis terkenal semua penulis perlu mengalaminya.Stahlman dan Luckner(1994) menyarankan cara publikasi yaitu: pemajangan di papan kelas atau buletin, sharing atau membaca, mengirimnya ke kelas yang lebih rendah untuk diskusi, membuat buklet untuk ditunjukkan ke semua kelas, mengirimnya ke orang tua, memproduksinya di majalah sekolah, dan mengirimkannya ke media yang sesuai.
    Strategi Penunjang
    Strategi penunjang meliputi perencanaan pembelajaran, pengalokasian waktu, penciptaan suasana menulis, pemotivasian siswa, pemberian struktur, interaksi teman sekelas, dan kerjasama dengan orang tua. Dalam Perencanaan Pembelajaran, siswa perlu diberi kesempatan menulis sesering mungkin dengan pelatihan menulis seriap hari, mereka belajar berpikir mandiri tentang menulis, dan mampu memilih mengem¬bang¬kan topiknya sendiri (Dahl, 1985). Untuk itu diperlukan pengalokasian waktumenulis bagi siswa sesuai dunia pribadi, selaras dengan minat, pengalaman, dan petualangan mereka sebagai sumber materi menulis. Graves (1983) merekomendasikan waktu menulis 4 kali per minggu selama 30 menit. Pengalokasian waktu menulis juga harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menulis dengan tujuan berbeda sesuai tuntutan kurikulum. Bagi STR harus mempertim¬bang¬kan kemampuannya. Menurut Stahlman dan Luckner (1991) STR hendaknya menerima pengajaran khusus dan kesempatan menulis pribadi, surat, sketsa biografi, petunjuk, laporan buku, script kartoon, menulis kreatif, editorial, dan script permainan kelas.
    Penciptaan suasana
    Menulis akan tercipta jika sikap guru terbuka dan bersahabat kepada siswa dalam aktivitas menulis. Motivasi siswa dapat berkembang jika guru penuh perhatian terhadap ekspresi tulisan siswa, membantu dengan memberi pengertian khusus, dan menyenangkan. Keakuratan asesmen level terakhir siswa dan identifikasi minat siswa merupakan hal penting dan fungsional untuk mengarahkan program menulis. Untuk memperbaiki level menulis, siswa perlu mengambil resiko ‘take risks’ ketika menulis. Pemotivasian Siswa. Agar siswa termotivasi dalam menulis guru perlu memberi pengalaman yang kaya sebagai sumber materi menulis, misalnya rekreasi, kegiatan-kegiatan, bercerita, diskusi, rangsangan visual dan sebagainya, agar siswa mengenal dan mempunyai skemata tentang hal-hal yang akan ditulisnya.
    Pemberian struktur
    Penciptaan suasana menulis dengan struktur yang konsisten penting untuk menunjang keberhasilan siswa dalam mengembangkan keterampilan menulis(Stahlman dan Luckner, 1991). Guru dapat menyediakan folder manila karton/map portofolio untuk menyimpan seluruh aktivitas kegiatan menulis siswa. Di sisi folder siswa dapat menulis sifat-sifat tugas menulis, tanggal, lembaran komentar dari teman sekelas dan guru tentang kelemahan untuk diarahkan dan tentang kekuatan untuk dipertahankan. Hasil kegiatan menulis siswa dapat disimpan dalam satu kotak yang mudah dijangkau siswa untuk mendapatkannya kembali bila membutuhkan.
    Interaksi teman sekelas
    Interaksi teman sekelas dapat digunakan sebagai salah satu cara bagi siswa untuk sharing tulisan mereka dan untuk memberikan dan menerima bantuan kritik (Johnson, 1988 dalam Stahlman dan Luckner, 1991). Siswa dapat sharing topik dalam kelompok kecil atau berpasangan, mendiskusikan masalah yang mereka tulis, saling membacakan bagian tulisan mereka. Cara lain adalah saling menukar tulisan dengan partner dan melengkapi evaluasi. Dalam interaksi peer guru harus memberikan struktur yang jelas bagi siswa dan pemahaman tentang cara mengevaluasi tulisan. Pertanyaan dapat diajukan oleh guru untuk memancing komentar siswa yang bersifat evaluatif. Pedoman membuat komentar dan saran dapat didisplaykan untuk mengembangkan keterampilan bertanya.
    Kerjasama dengan orang tua
    Orang tua perlu memahami menulis proses agar mereka mendukung program pembelajaran menulis, serta dapat memberikan bantuan yang diperlukan bagi anaknya. Guru perlu memberikan petunjuk kepada orang tua tentang menulis proses, cara membantu mengumpulkan tulisan anaknya ke dalam file dan memberikan fasilitasnya, memberikan dukungan dan memotivasi anaknya, dan mengunjungi sekolah untuk mengamati variasi program menulis.
    Evaluasi
    Evaluasi pembelajaran menulis dengan pendekatan menulis proses meliputi proses dan produk. Evaluasi proses ketika pembelajaran berlangsung. Peran guru sebagai pembimbing dan pemotivasi. Penilaian tidak menunggu sampai seluruh karangan lengkap. Evaluasi demikian sejalan dengan asesmen sebagai inovasi terhadap istilah evaluasi yang mengacu pada tes. Tompkins (1993:373) menunjukkan tiga aktivitas dalam asesmen menulis: informal, proses, dan produk. Asesmen informal digunakan guru untuk mengamati kemajuan belajar siswa setiap hari. Evaluasi proses dan produk yang lebih formal tepat digunakan untuk mengevaluasi siswa ketika menggunakan pendekatan proses dalam menulis. Dalam asesmen proses guru memonitor kegiatan siswa sewaktu menulis. Dalam asesmen produk guru menilai kualitas hasil akhir karangan siswa. Tujuan asesmen pada dasarnya adalah membantu siswa agar dapat belajar menulis dengan lebih baik. Terdapat beberapa jenis evaluasi informal, proses, dan produk, meliputi observasi informa, ceklist proses menulis, catatan anekdot.

    Kemampuan Menulis Siswa Tunarungu Kelas Tinggi
    Kemampuan menulis siswa tunarungu kelas tinggi (V-VI) sangat rendah. Perkembangan kemampuan mengarangnya masih pada tahap mengarang permulaan dan yang lazimnya materi yang diberikan pada siswa tunarungu kelas V di antaranya adalah: (1) menulis/menyusun kalimat berdasarkan gambar, (2) menulis/menyusun paragraf berdasarkan materi yang tersedia, struktur format bacaan, dan gambar seri; dan (3) menulis spontan deskripsi benda konkret dengan bimbingan guru. Berkaitan dengan kemampuan menulis siswa yang dievaluasi dalam penelitian ini, maka berikut ini dijelaskan secara sederhana hal-hal yang terkait dengan kalimat, paragraf dan menulis deskripsi.
    Dalam menyusunkalimat,bagi siswa tunarungu minimal mereka memahami pola kalimat sederhana (Subjek-Predikat-Objek- Keterangan) dan letak fungsi kalimat tersebut, penanda kalimat diawali huruf kapital dan diakhiri titik. Letak subjek selalu di depan predikat. Jadi teletak di kiri pusatnya.MenyusunParagrafmengacu pada kemampuan memahami ciri-ciri paragraf. Bahwa paragraf terdiri atas kalimat topik dan kalimat penjelas, mengandung satu ide, kesatuan dan koherensi. Menulis spontanDeskripsiBendaKonkretmengacu pada kemampuan mendeskripkan benda konkret yang dapat diamati siswa melalui panca indera, dilihat, dirasakan, diraba, dan dicium oleh siswa.
    Berdasarkan hal di atas, tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaruh pembelajaran menulis dengan pendekatan menulis proses terhadap performansi menulis STR kelas tinggi dalam menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis spontan deskripsi objektif benda konkret.


    METODE

    Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimen semu ‘Quasi-eksperimental’. ‘Jenis pretest-postestcontrolgroupdesign’. Tujuannya untuk mengetahui akibat suatu variabel yang dimanipulasi dengan mengendalikan secara langsung variabel-variabel yang tidak relevan. Dalam hal ini terdapat empat unsur yang dipenuhi dalam penelitian ini, yaitu: perlakuan, randomisasi, kelompok kontrol, dilaksanakan pretes dan postes untuk mengetahui akibat suatu perlakuan (Zainuddin, 1988).
    Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SLB Tunarungu Karya Mulia Surabaya di kelas-kelas tinggi, dengan ciri-ciri: (1) inteligensi normal 86-109, (2) taraf ketunarunguan 70 dB ke atas, dan (3) tidak mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Berdasarkan kriteria tersebut di peroleh populasi sebanyak 125 siswa. Sampel diperoleh dengan teknik random sampling. Jumlah sampel 20 siswa, 10 siswa untuk kelompok perlakuan dan 10 siswa kelompok kontrol.
    Instrumen Penelitianmeliputi daftar isian data siswa untuk mengumpulkan data umum. Test inteligensi dengan mengguna¬kan colour progresisive Matrices oleh psikolog. Tes pengukuran gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas ‘Abreviated Conner’s Teacher Rating Scale‘, alat tes tingkat ketunarunguan adalah audiometer dilaksanakan oleh audiolog, instrumen perlakuan berupa rancangan pembelajaran dan pedoman guru. Alat pengukuran/penilaian menyusun kalimat dan menyusun paragraf dibuat berdasarkan kriteria yang disusun sesuai dengan materi yang diberikan kepada siswa. Penilaian menulis spontan wacana deskripsi yang digunakan adalah prosedur asesmen informal yang dikemukakan oleh Sthalman & Luckner (1991) dimodifikasi sesuai kebutuhan. Sampel yang dinilai diambil dari kumpulan hasil perlakuan dipilih salah satu yang terbaik menurut siswa, dan dari hasil tes menulis spontan.
    Pengumpulan Data.Data utama dikumpulkan dari pretes dan postes. Data selanjutnya dianalisis dengan teknik uji-t (t –tes) untuk 2 sampel bebas, dan dua sampel berpasangan dengan menggunakan program SPSS for Window Versi-11. Untuk uji normalitas digunakan tes Kolmogorov-Smirnov Goodness of Fit.


    HASIL DAN PEMBAHASAN


    Hasil Pengukuran Kemampuan Menyusun Kalimat sebelum Intervensi
    Nilai rata-rata kemampuan menyusun kalimat adalah 1,45 dengan nilai tertinggi 4 dan nilai terendah 0. Nilai rata-rata kemampuan menyusun paragraf 3.05 dengan nilai tertinggi 5, dan nilai terendah 0. Nilai rata-rata kemampuan menulis spontan deskripsi adalah 2.50, dengan nilai tertinggi 4 dan nilai terendah 1. Selanjutnya siswa dirandomisasi untuk menentukan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol mengikuti pembelajaran menulis dengan strategi yang biasa diterapkan guru. Kelompok perlakuan yang mengikuti pembelajaran menulis dengan pendekatan proses. Masing-masing kelompok terdiri dari 10 siswa.
    Pada kelompok perlakuan, nilai rata-rata kemampuan membuat kalimat 1.70. nilai tertinggi 4 dan terendah 0. Pada kelompok kontrol nilai rata-ratanya 1.20. nilai tertinggi 3, dengan nilai terendah 1 Kemampuan menyusun paragraf kelompok perlakuan 2.80, nilai tertinggi 5 dan nilai terendah 0. Kelompok kontrol 3.30. dengan nilai tertinggi 5 dan nilai terendah 2. Kemampuan menulis deskripsi siswa kelompok perlakuan 2.50 dan kelompok kontrol 2.50. nilai tertinggi kelompok perlakuan 4, terendah 1. Kelompok kontrol nilai tertinggi 4, terendah 1 (Tabel 1).
    Hasil Pengukuran Performansi Menulis STR setelah Intervensi
    Setelah intervensi nilai rata-rata kemampuan menyusun kalimat 20.3, dengan nilai tertinggi dan terendah 14. Kelompok perlakuan nilai rata-ratanya 23.80 dengan nilai tertinggi 31 dan terendah 16. Nilai kelompok kontrol rata-ratanya 16.80 dengan nilai tertinggi 20 dan terendah 14.
    Rerata nilai kemampuan menyusun paragraf setelah intervensi 3.05. Nilai tertinggi 5 dan terendah 0. Untuk kelompok perlakuan, nilai rata-ratanya 32.80 dengan nilai tertinggi 39 dan nilai terendah 25, sedang nilai kelompok kontrol reratanya 22.4 dengan nilai tertinggi 27 dan terendah 18.






    Tabel 1
    Pengukuran Performansi Menulis ATR sebelum Intervensi

    Kelompok
    Perlakuan Kelompok
    Kontrol Responden keseluruhan
    MK MP MD MK MP MD MK MP MD
    Rerata 1.70 2.80 2.50 1.20 3.30 2.50 1.45 3.05 2.50
    Nilai tertinggi 4 5 4 3 5 4 4 5 4
    Nilai terendah 0 0 1 1 2 1 0 0 1
    Keterangan : MK= menyusun kalimat; MP= menyusun paragraf; MD= menulis deskrips


    Nilai kemampuan menulis spontan deskripsi 24.25 dengan nilai tertinggi 31 dan nilai terendah 17. Rerata nilai kelompok perlakuan setelah diintervensi 28.60 dengan nilai tertinggi 31 dan terendah 21. Untuk kelompok kontrol 19.90 dengan nilai tertinggi 23 dan terendah 17 (Tabel 2).


    Tabel 2
    Hasil Pengukuran Performansi Menulis STR setelah Intervensi

    Kelompok
    Perlakuan Kelompok
    kontrol Responden
    keseluruhan
    MK MP MD MK MP MD MK MP MD
    Rerata 23.80 32.80 28.60 16.80 22.4 19.90 20.3 27.6 24.25
    Nilai tertinggi 31 39 31 20 27 23 31 39 31
    Nilai terendah 16 25 21 14 18 17 14 18 17
    Keterangan : MK= menyusun kalimat; MP= menyusun paragraf; MD= menulis deskripsi


    Analisis Data
    Perbedaan Kemampuan STR dalam Menyusun Kalimat, Menyusun Paragraf, dan Menulis Deskripsi Sebelum dan setelah Intervensi
    Dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov Goones of Fit Tes dketahui bahwa kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis deskripsi sebelum intervensi berdistribusi normal pada kelompok kontrol dengan nilai p=0.200 dan kelompok perlakuan p=0.200. demikian juga hasil setelah diintervensi sama kelompok kontrol p=0.200 dan kelompok perlakuan p=0.200 (Tabel 3).
    Berdasarkan data Tabel 3 diketahui bahwa terdapat perbedaan kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf dan menulis deskripsi yang signifikan pada kelompok perlakuan sebesar p = 0,000 antara sebelum dan setelah intervensi. Demikian juga pada kelompok kontrol ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi sebesar p= 0,000.
    Perbedaan Kemampuan Menyusun Kalimat, Menyusun Paragraf, dan Menulis Deskripsi antara Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Kontrol.



    Tabel 3
    Uji t Sampel Berpasangan Kemampuan Menyusun Kalimat, Menyusun Paragraf,
    dan Menulis Deskripsi STR Sebelum dan Sesudah Intervensi

    Kemampuan Kelompok n Pre test Post test T P KET
    Rerata SD Rerata SD
    Menyusun Kalimat Perlakuan 10 1.70 1,42 23,80 4,71 18,912 0,000 S
    Kontrol 10 1.20 1,03 16,80 1,81 39,00 0,022 S
    Menyusun Paragraf Perlakuan 10 2,80 0,55 32,80 4,49 27,642 0,000 S
    Kontrol 10 3,30 1,16 22,40 2,99 28,330 0,022 S
    Menulis Deskripsi Perlakuan 10 2,50 1,08 28,60 4,81 20,024 0,000 S
    Kontrol 10 2,50 1,08 19,90 2,02 28,144 0,000 S


    Sebelum intervensi kondisi kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis deskripsi antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol tidak ada perbedaan secara bermakna sebesar p= 0,200. Ini berarti antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol homogen.
    Secara rinci uji t sampel bebas dapat dilihat pada Tabel 4. Sesudah intervensi diketahui dari uji t sampel bebas bahwa ada perbedaan yang bermakna dalam kemampuan menyusun kalimat antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebesar p= 0,000.

    Tabel 4
    Hasil Uji t sampel Bebas Kemampuan Menyusun Kalimat, Menyusun
    Paragraf, Menulis Deskripsi STR sebelum dan sesudah Intervensi

    Kemampuan Kelompok n Pre test Post test
    Rerata SD Rerata SD
    Menyusun Kalimat Perlakuan 10 1,70 1,42 23,80 4,71
    Kontrol 10 1,20 1,03 1,03 1,81
    T 0,901 4,386
    P 0,379 0,000
    Keterangan Tidak signifikan Signifikan
    Menyusun Paragraf Perlakuan 10 2,80 1,55 32,80 4,49
    Kontrol 10 3,30 1,18 22,40 2,99
    T 0,817 6,095
    P 0,425 0,000
    Keterangan Tidak signifikan Signifikan
    Menyusun Deskripsi Perlakuan 10 2,50 1,08 28,60 4,81
    Kontrol 10 2,50 1,08 19.90 2,02
    T 0,000 5,70
    P 0,000 0,000
    Keterangan Tidak signifikan Signifikan


    Peningkatan Kemampuan Menyusun Kalimat, Menyusun Paragraf, menulis deskripsi antara Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Kontrol.
    Dari hasil uji t sampel bebas untuk mengetahui peningkatan kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis deskripsi antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol diperoleh hasil bahwa ada peningkatan kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf, menulis deskripsi yang signifikan pada kelompok perlakuan dengan nilai p= 0,000. Secara rinci kemampuan menyusun kalimat dapat dilihat pada Tabel 5.
    Selanjutnya, berdasarkan hasil pengukuran performansi menulis diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan pada performansi menulis siswa tunarungu antara sebelum dan setelah diintervensi yang nampak dari hasil uji normalitas dan uji t sampel berpasangan serta hasil uji t sampel bebas pada tiga sub kemampuan menulis, yaitu kemampuan menyusun kalimat, paragraf, dan kemampuan menulis spontan deskripsi benda konkret. Ketiganya menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Hal ini berarti terdapat peningkatan kemampuan menulis siswa tunarungu yang signifikan (lihat data yang telah dikemukakan).


    Tabel 5
    Hasil Uji t Sampel Bebas Peningkatan Kemampuan Menyusun Kalimat,
    Paragraf, dan Menulis Deskripsi antara Kelompok Perlakuan dengan
    Kelompok Kontrol

    Kemampuan Kelompok n Rerata SD t P Ket.
    Menyusun Kalimat Perlakuan 10 22,10 3,70 5,263 0,000 Signifikan
    Kontrol 10 15,60 1,26
    Menyusun paragraf Perlakuan 10 30,00 3,43 8,536 0,000 Signifikan
    Kontrol 10 19,10 2,13
    Menyusun Deskripsi Perlakuan 10 26,10 4,12 6,031 0,000 Signifikan
    Kontrol 10 17,40 1,96


    Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan dapat dinyatakan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna pada kelompok perlakuan. Hal ini terbukti bahwa sebelum intervensi kondisi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dalam keterampilan menulis dalam segi:menyusun kalimat, menyusun paragaraf dan menulis deskriptif dalam kondisi homogen dengan nilai p = 0,200 pada ketiga kemampuan subketerampilan menulis tersebut.
    Setelah diintervensi dan hasilnya diolah dengan uji t sampel bebas, maka diperoleh hasil sebagai berikut. Kemampuan menyusun kalimat antara kelompok perlakuan dan dengan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p = 0,00. Kemampuan menyusun paragaraf antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,00.
    Kemampuan menulis spontan deskripsi benda konkret antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,00.
    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intervensi pembelajaran menulis dengan pendekatan proses lebih besar pengaruhnya pada peningkatan performansi siswa tunarungu dibandingkan pembelajaran menulis tradisional yang diterapkan guru.
    Hasil ini menunjang penelitian Graham dan Harris (1996), Rhodes & Marling (1988) tentang pendekatan menulis proses bagi siswa berkebutuhan khusus bahwa pendekatan proses yang dilaksanakan secara bertahap sesuai dimensi-dimensi kognitif siswa akan membantu siswa menguasai strategi menulis. dan pada gilirannya siswa akan mampu menulis mandiri.
    Berkaitan dengan peningkatan performansi menulis siswa tunarungu antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, berdasarkan uji sampel t sampel bebas antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol membuktikan ada tidaknya peningkatan performansi menulis STR yaitu: (1) terdapat peningkatan yang signifikan dalam menyusun kalimat pada kelompok perlakuan dengan nilai p= 0,00 dibandingkan dengan kelompok kontrol; (2) terdapat peningkatan yang signifikan dalam menyusun paragraf pada kelompok perlakuan dengan nilai p = 0,00 dibandingkan dengan kelompok kontrol; (3) terdapat peningkatan yang signifikan dalam menulis spontan dekripsi pada kelompok perlakuan dengan nilai p=0,00 dibandingkan dengan kelompok kontrol.
    Hasil tersebut menunjukkan bahwa intervensi pembelajaran menulis dengan pendekatan proses dapat meningkatkan performansi menulis STR dibandingkan dengan pembelajaran tradisional yang diterapkan guru. Pembelajaran yang dilaksanakan guru selama ini kurang direncanakan, siswa banyak menulis mekanik.


    KESIMPULAN


    Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menulis dengan pendekatan proses secara bermakna dapat meningkatkan performansi menulis siswa tunarungu dalam segi menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis spontan wacana deskripsi objektif benda konkrit. Artinya pembelajaran menulis dengan pendekatan proses berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kemampuan menulis siswa tunarungu. Dampak lain dari pembelajaran menulis dengan pendekatan proses adalah meningkatnya aktivitas proses dalam menulis. Artinya, multi strategi yang diterapkan dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan aktivitas proses yang secara bertahap memberikan pemahaman kepada siswa tunarungu tentang strategi menulisnya sendiri, ide-ide menulis dan pengembangan draf menulis.


    DAFTAR PUSTAKA


    Van Uden. (1977). A world of Language for Deaf Children: Part I Basic principles A Maternal Reflektif Method. Swets & zeitlinger, Amsterdam and Lisse: The Pitman Press Ltd.
    Bender, William N. (1992). Learning Disabilities: Characteristic, Identifi¬cation and Teaching Strategies. Singapore: Allyn and Bacon.
    Hallahan, Daniel P.; Kauffman, James M. (1994).Exceptional Children: Introduction to Special Education. London: Allyn and Bacon.
    Kretschmer, Richard R.; Kretschmer, Laura W. (1978). Language Development and Intervention with the Hearing Impaired. Baltimore: University Park Press.
    Lerner, Janet. (1985). Learning Disabilities: Theori, diagnosis and teaching strategies. Geneva: Houghton mifflin Company
    Mercer, Cecil D; Mercer Ann R. (1989). Teaching Student with Learning Problem. Toronto: Merril Publishing Company.
    Moores, Donald F. (1987). Educating The Deaf: Psychology, Principles and Practices. New Jersey: Houghton Mifflin Company.
    Sthalman, Barbara Luetke; Luckner, John. (1991). Effectively Educating Students with Hearing Impairments. New York: Longman.

    Label:





    Pengembangan Model Pendidikan Kecakapan Hidup bagi Anak Tunagrahita di Sekolah Luar Biasa Daerah Istimewa Yogyakarta

    Endang Supartini, Tin Suharmini, Purwandari
    Universitas Negeri Yogyakarta
    ABSTRAK
    Tujuan utama penelitian ini untuk mengembangkan model substansi/materi pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita ringan di SLB tingkat sekolah dasar, dihasilkannya modul pegangan guru, serta tersosialisasikannya modul tersebut di SLB. Penelitian dilaksanakan di SLBN I Yogyakarta dan SLB Marsudi Putra II Bantul melalui pendekatan researchandDevelopment (R&D). Pengambilan sampel secara purposif. Metode pengumpulan data yaitu pengamatan, wawancara mendalam dan semi structtureddiscussion dengan guru, orangtua siswa, dan pengawas SLB. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan mengatur, mengurutkan, mengkategorikan data sehingga dapat diseskripsikan aspek yang diteliti. Hasil penelitian menemukan bahwa untuk pengembangan model substansi pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita dilakukan melalui: (a) mengkaji teori tentang kecakapan hidup bagi anak tunagrahita, (b) mengkaji GBPP Binadiribagi anak tunagrahita, (c) mengidentifikasi visi, misi dan lingkungan sekolah, (d) mengidentifikasi harapan orang tua, dan (e) mengidentifikasi kemampuan dan potensi siswa. Penelitian ini juga telah dihasilkan modul pegangan guru yang telah divalidasi oleh ahli media, dan pengkaji materi dari staff akademisi di bidang pendidikan anak tunagrahita, kepala sekolah dan guru-guru SLB, serta tersosialisasikannya modul tersebut ke beberapa SLB di Yogyakarta.
    Kata kunci: pendidikan kecakapan hidup, tunagrahita ringan, modul.

    PENDAHULUAN

    Inovasi Pendidikan saat ini mengarah pada pembentukan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari (lifeskills), artinya pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan nyata yang diinginkan peserta didik sesuai dengan potensi dan budaya masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan pengertian pendidikan menurut UU No, 20 tahun 2003, tentang SPN, Bab I, pasal I, ayat 1 yang menyatakan: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan hendaknya mengarah pada penguasaan keterampilan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan diri peserta didik, masyarakat, bangsa dan negara.
    Kenyataan di lapangan pendidikan bagi anak tunagrahita pada umumnya belum mengarah pada terkuasainya sejumlah kecakapan dan keterampilan yang sesuai dengan bakat, minat, potensi, kondisi lingkungan sekitar tempat tinggal anak, dan kebutuhan lapangan kerja yang sesuai dengan karakteristik anak tunagrahita.Hal ini dapat dibuktikan bahwa anak tunagrahita yang sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) belum memiliki kemampuan yang memadai dan mengarah pada kecakapan hidup yang diperlukan sehingga dalam menolong dirinya sendiri masih bergantung pada oranglain.
    Mengingat keterbatasan intelektual dan potensi yang dimiliki anak tunagrahita, mengakibatkan mereka kurang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, kurang memiliki keterampilan untuk bekerja yang memadai, namun dengan latihan dan pembiasaan mereka mampu melakukan kegiatan hidup sehari-hari.
    Selama ini guru melaksanakan pendidikan kecakapan hidup sehari-hari sesuai dengan GBPP Binadiri. Padahal kawasan pendidikan kecakapan hidup sehari-hari sangan luas. Apabila hanya berdasarkan GBPP ada beberapa materi yang belum tercakup. Dengan dihasilkannya model pengembangan substansi/materi dan telah tertuang dalam buku pegangan guru tentang pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita ringan kelas dasar1, 2, dan 3, maka guru-guru diharapkan mampu melaksanakan pendidikan kegiatan hidup hari hari yang merupakan salah satu dari kecakapan hidup yang hendaknya dikuasai oleh anak tunagrahita supaya mampu menolong dirinya sendiri, dan “mandiri”.
    Secara teoretis, anak tunagrahita adalah anak yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rerata yaitu IQ kurang dari 70, mengalami hambatan dalam perkembangan fisik, mental, dan penyesuaian sosial dengan lingkungannya yang terjadi pada masa perkembangan. (Moh.Amin,1996) Apabila kondisi tersebut terjadi setelah masa perkembangan berakhir maka tidak termasuk anak tunagrahita
    Anak tunagrahita dapat dikelompok¬kan menjadi tiga yaitu: a) tunagrahita ringan, b) anak tunagrahita sedang, dan c) anak tunagrahita berat. Dalam penelitian ini yang diteliti yaitu anak tunagrahita yang termasuk ringan dan bersekolah di SLB.
    Karakteristik anak tunagrahita ringan yaitu: a) bentuk fisiknya seperti anak normal tidak ada kelainan, b) memiliki IQ antara 50 –70, c) cepat lupa dan kurang mampu memusatkan perhatian namun memiliki kemampuan untuk berkembang di bidang akademik yang fungsional, d) mampu melakukan penyesuaian sosial dalam kehidupan sehari-hari, e) koordinasi motoriknya baik, f) mampu melakukan pekerjaan semi skill, dan e) mampu bekerja di tempat kerja terlindung yaitu di shelteredworkshop (Ashman dan Elkins,1994; Kirk & Gallagher, 1989; Halahan, 1988)
    Untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari selain memperhatikan karakteristik, juga perlu memperhatikan kebutuhannya. Menurut Amin (1996) kebutuhan anak tunagrahita ialah: a) kebutuhan fisik, b) kebutuhan kejiwaan, meliputi kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan komunikasi, dan kebutuhan melakukan hubungan sosial.
    Kebutuhan fisik antara lain: kebutuhan makan, minum, perumahan, perawatan kesehatan/badan, sarana untuk mobilitas/gerak, olah raga, rekreasi, dan bermain. kebutuhan kejiwaan yang berupa penghargaan sangat diperlukan oleh anak tunagrahita, mereka senang dipuji, ingin disapa, ingin dimanja, jika mereka diperhatikan dan dipuji karena perilakunya baik, maka mereka akan menurut apa yang diperintahkan oleh guru atau orangtua.
    Sebagai manusia mereka memerlu¬kan komunikasi namun karena keterbatasan kosakata mereka kesukaran mengemukakan idenya. Mumpuniarti dkk. (2003) mengemu¬kakan bahwa: “anak tunagrahita ringan mampu memahami pesan sederhana” anak tersebut perlu dikembangak kemampuan komunikasinya seupaya mereka mampu mengatakan apa keinginannya.
    Konsep Dasar Kecakapan Hidup Sehari-hari.
    Secara umum pengertian kecakapan hidup sehari-hari (lifeskills) adalah: ”kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidupdan kehidupan secara wajar, tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi, sehingga mampu mengatasinya (Depdiknas, 2002).
    Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi lima yaitu: a) kecakapan mengenal diri, sering disebut kecakapan personal, b) kecakapan berfikir rasional, c) kecakapan sosial, d) kecakapan akademik, dan e) kecakapan vokasional (Depdiknas:2002). Ahli lain yaitu Patton &Poloway (1993) mengutip pendapat Brollin mengelom¬pokkan pendidikan kecakapan hidup bagi anak berkebutuhan khusus menjadi tiga yaitu: a) kecakapan kegiatan sehari-hari, b) kecakapan personal-sosial, dan c) kecakapan sosial. Dalam penelitian ini pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari mengacu pada pendapatnya Brollin.
    Kecakapan kegiatan hidup sehari-hari ini meliputi: a) mengelola kebutuhan pribadi, b) mengelola keuangan pribadi, c) mengelola rumah tangga pribadi, d) mengelola makanan, e) mengelola pakaian, f) penggunaan fasilitas rekreasi dan pengelolaan waktu luang, g) tanggung¬jawab sebagai warganegara, dan h) kesadaran terhadap lingkungan.
    Model Pengembangan materi Pendidikan Kecakapan Hidup Sehari-hari
    Pengembangan model materi pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan dengan cara: a) top down, b) pertimbangan kurikulum, dan c) memperhatikan aspek pembelajaran. Menurut Polloway dan Patton (1994) ada beberapa aspek yang perlu dipertimbang¬kan untuk mengembangkan substansi program pendidikan kecakapan hidup yaitu:
    a. Merujuk pada kehidupan orang dewasa, yaitu mengidentifikasi kegiatan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat. Sebagai contoh seseorang akan berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut orang perlu memperhatikan penampilan diri, berpakaian yang pantas. Supaya dapat berpakaian pantas tentu harus memiliki pengetahuan tentang jenis-jenis pakaian, cara pemeliharaannya, dimana membelinya. Untuk membeli pakaian diperlukan pengetahuan tentang cara pengelolaan uang. Berdasarkan contoh tersebut untuk mengelola pakaian dapat dijabarkan menjadi beberapa kecakapan antara lain: memakai baju, memilih baju sesuai dengan situasi dan tempat, memelihara baju, dan akhirnya keterampilan yang dapat dikembangkan yaitu mencuci, menyeterika, atau menjahit baju
    b. Rencana pengembangan materi hendaknya komprehensif yaitu mencakup semua kawasan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang akan diberikan. Misalnya tentang pakaian dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran bahasa Indonesia dengan pokok bahasan bercakap-cakap dengan topik pakaian, sekaligus mengembangkan kemampuan berkomunikasi
    c. Relevansi, materi pelajaran hendaknya relevan dengan kehidupan anak sehari-hari, misalnya pelajaran matematika juga dapat digunakan untuk mengembangkan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari, misalnya dalam membantu menyiapkan minuman di rumah, anak dapat menghitung jumlah anggota keluarga, sehingga minuman yang disiapkan sejumlah anggota keluarganya
    d. Secara impiris dan sosial dapat dipertanggungjawabkan, artinya pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bernilai dan bermanfaat bagi dirinya. Misalnya menjaga kebersihan diri, anak diharapkan mampu memelihara kebersihan diri, mampu mandi sendiri sehingga tidak perlu meminta bantuan orang lain.
    e. Fleksibel, artinya program pendidikan kecakapan hidup dapat memenuhi kebutuhan siswa yang berbeda-beda karena potensi dan kondisinya berbeda, jadi diberikan sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa
    f. Berbasis masyarakat, artinya setting kegiatan tidak hanya di kelas namun dapat dilakukan di masyarakat. Sebagai contoh anak dilatih menyapu, namun tidak hanya menyapu di kelas, tetapi dapat menyapu halaman, untuk itu tukang kebun sekolah dapat melatih bagaimana cara menyapu halaman yang betul dan bersih,
    Dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut di atas maka prosedur untukl pengembangan substansi/materi pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita ringan adalah sebagai berikut:
    a. Mengidentifikasi dan mendeskrip sikan potensi masyarakat/ lingkungan sekitar sekolah
    b. Mengidentifikasi dan mendeskrip sikan visi, misi, tujuan, dan potensi sekolah
    c. Mengidentifikasi harapan orangtua terhadap anaknya setelah lulus dari sekolah tersebut
    d. Mendeskripsikan potensi, bakat, minat, dan cita-cita siswa.
    e. Mengidentifikasi kurikulum dalam hal ini garis-garis besar program pembelajaran (GBPP) yang membahas tentang kecakapan kegiatan hidup sehari-hari
    Hal-hal tersebut di atas digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan model substansi Pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan di SLB dan akhirnya ditulis menjadi bahan ajar yang dapat dihunakan untuk mengembangkan kecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan di kelas dasar 1-3 di Sekolah luar Biasa.
    Berdasarkan hal di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
    a. Menemukan pengembangan model substansi/materi pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan
    b. Menghasilkan modul pegangan guru tentang pendidikan kecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan kelas dasar 1-3. di Sekolah Luar Biasa yang telah tervalidasi
    c. Tersosialisasinya buku pegangan guru tentang pendidikankecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan kelas dasar 1-3 di Sekolah Luar Biasa.


    MOTODE

    Penelitian ini menggunakan pendekatan ReseachandDevelopment (R&D), untuk mengkaji beberapa aspek yang diperlukan untuk mengembangkan model pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari.
    Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu pengamatan dan diskusi semi kelompok dengan guru, orangtua siswa dan pengambil kebijakan dari dinas P&P selain itu juga melakukan wawancara mendalam dengan guru dan kepala sekolah.
    Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu mengatur, mengurutkan, memberi kode, dan mengkategorikan data, sehingga dapat dideskripsikan apek yang diteliti.
    Populasi penelitian adalah anak tunagrahita ringan yang sekolah di SLB di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel penelitian adalah beberapa anak SLB kelas dasar satu sampai dengan tiga. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Adapun sumber data yaitu guru kelas dasar satu sampai dengan kelas tiga, orangtua siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga yang anaknya dijadikan subyek penelitian, dan kepala sekolah, pengawas SLB. Lokasi Penelitian di SLB Negeri I Yogyakarta dan SLB Marsudi Putra II Bantul.
    Rancangan penelitian adalah sebagai berikut: (1) menyempurnakan rancangan modul model pengembangan substansi pendidikan kecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan dengan mengundang pakar terkait, (2) memperbaiki rancangan dan menulis buku pegangan guru/modul pendidikan kecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan, (3) melakukan validasi dengan pengkaji ahli media dan pengkaji materi, (4) melakukan perbaikan modul dan kemudian divalidasi dengan kepala sekolah dan guru anak tunagrahita ringan, (5) melakukan perbaikan dan sosialisasi modul.


    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pengembangan Model Substansi Pendidikan Kecakapan Hidup
    Pengembangan rancangan model pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari dilakukan melalui prosedur sebagai berikut:
    Mengkaji substansi materi kecakapn hidup berdasarkan literatur.
    a. Mengkaji kurikulum yang tertuang dalam GBPP Bina diri
    b. Mengidentifikasi visi, misi dan lingkungan sekolah,
    c. Mengidentifikasi harapan orangtua terhadap anaknya
    d. Mengidentifikasi potensi, bakat dan minat anaktunagrahita
    Dengan memperhatikan aspek tersebut di atas dan hasil kajian di lapangan tentang pelaksanaan kegiatan pendidikan kecakapan hidup, dapat digunakan untuk menyusun rancangan model substansi tentang pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari
    Hasil rancangan model pengembangan substansi pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
    a. Mengelola kebutuhan pribadi meli¬puti: kebersihan diri, penampilan diri, dan memelihara kesehatan diri
    b. Memelihara kebersihan lingkungan antara lain: membuang sampah di tempatnya, menyapu ruangan, dan menyapu halaman
    c. Mengelola makanan antara lain: makan dan minum sendiri, mengambil porsi makannya sendiri, makan dan minum dengan cara yang sopan, menyiapkan makan dan minum, memelihara peralatan makan dan minum
    d. Mengelola pakaian, meliputi memakai/melepas pakaian, memakai/melepas kaos kaki dan sepatu, memakai/melepas dasi, memilih pakaian sesuai dengan kondisi dan situasi, memelihara pakaian.
    e. Mengelola keuangan sendiri ini meliputi: mengenal inilai uang, bila diberi uang mampu membeli keperluannya sendiri, membayar iuran, membayar ongkos transportasi, menyisihkan uang untuk ditabung.
    f. Menjalin hubungan sosial dengan teman di rumah, di sekola, dengan orangtua dan keluarganya, dengan guru-guru, dengan orang yang baru dikenal, tidak mengganggu teman, membantu teman/guru/orangtua, dapat bermain bersama, dan mampu bekerjasama
    g. Mampu bepergian ke rumah tetangga/famili, ke warung, ke pasar, ke sekolah, dan ke toko
    h. Mampu menjaga keselamatan diri dari bahaya yang ada didalam rumah dan yang ada di sekitar rumah antara lain: bahaya kebakaran, bahaya listrik, bahaya alat rumah tangga, binatang, serangga, lalu lintas, dan alat bermesin
    i. Tanggungjawab ini meliputi mematuhi tata tertib sekolah maupun keluarga, memelihara alat mainannya, memelihara alat sekolahnya, menghadiri undangan ulang tahun, menengok teman yang sedang sakit, ikut memperingati hari besar nasional dan hari besar keagamaan
    j. Mengelola waktu luang, meliputi kegiatan rekreasi yaitu nonton TV, nonton pertandingan, ke kebun binatang, dan bermain, sedangkan kegiatan yang sifatnya produktif yaitu belajar, mengembangkan hobi, membantu orangtua
    k. Mengenal berbagai macam jenis pekerjaan yang ada di sekitar tempat tinggal siswa maupun di sekitar sekolah.
    Rancangan tersebut merupakan keseluruhan materi pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan untuk kelas dasar satu-tiga.
    Validisai model
    a. Melakukan validasi dengan tim ahli pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari staff akademik jurusan PLB dari UPI dan UNY untuk mengetahui apakah pengembangan model substansi yang dikembangkan sesuai dengan kondisidan kemampuan siswa. Hasilnya rancangan tersebut cukup memadai dan untuk mengembangkan menjadi buku pegangan guru diharapkan strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita menggunakan strategi analisis tugas.
    b. Menyusun pengembangan modul pendidikan-kecakapan kegiatan hidup sehari hari dan melakuka valoidasi dengan validasi dengan pengaji materi dan mengkaji media supaya modul pegangan guru yang dihasilkan mudah dipahami oleh guru dan dapat dilaksanakan disekolah maupun di rumah. Hasilnya modul dapat digunakan dan layak digunakan namun perlu perbaikan salah tulis, frase, dan ada beberapa kalimat yang tidak jelas dansukar difahami.
    c. Berdasarkan masukan dari pengkaji media dan mengkaji materi, digunakan untuk memperbaiki modul, selanjutnya modul yang telah direvisi divalidasikan pada guru dan kepala sekolah. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan modul yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi, mudah dipahami dan aplikabel.


    KESIMPULAN

    Telah diketemukan pengembangan model substansi pendidikan kecakapan hidup bagi anak trunagrahita. Materi pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan meliputi: a) mengelola kebutuhan pribadi, b) mengelola kebersihan lingkungan, c) mengelola makanan. d) mengelola pakaian, e) mengelola keuangan pribadi, f) menjalin hubungan sosial, g) bepergian, h) menjaga keselamatan diri, i) tanggungjawab, j) mengelola waktu luang, k) mengenal berbagai jenis pekerjaan. Untuk mendukung implementasinya, juga telah tersusun buku pegangan guru/modul pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita yang telah tervalidasi.


    DAFTAR PUSTAKA

    Ashman, Andrian & Elkins, John. (1994), Educating Children With Special Needs. Sidney Printice Hall of Autralia Pty. Ltd.
    Depdikbud. (1997). KurikulumBinaDiriuntuk SLB C. Jakarta. Depdkbud. Subdit
    Pendidikan Luar Biasa Depdiknas. (2003) Konsep Pendidikan Berorientasi kecakapan Hidup (life skills) BroadBased Education (BBE). Jakarta: Depdiknas.
    Halahan, F.Kauffman. (1988). Exceptional Children, Introduction to Special Education. New York: Printice Hall Company.
    Kirk, Samuel. & Gallagher, James. (1989). Education ofExceptionalChildren.Boston:Houghton mifflin Company.
    Moh, Amin. (1996). Ortopedagogiek AnakTunagrahita. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti.
    Mumpuniarti dkk. (2003). Pengembang anKomunikasiAnakTunagrahita SedangMelaluiPembelaja ranKecakapanHidup.Laporan Penelitian. Yogyakarta: FIP-Universitas Negeri Yogyakarta
    Poloway, Edward,A. & Patton James.K. (1993). StrategiesforTeachingLearnerswithSpecialNeeds. New York: Macmillan Publishing Company.

    Label:





    Manajemen Emosi Negatif pada Anak Tunarungu yang Diasramakan

    Marlina
    Universitas Negeri Padang

    ABSTRAK

    Penelitian ini dilakukan pada anak-anak tunarungu yang tinggal di asrama dan mengalami kesulitan dalam mengelola emosi negatif mereka. Tujuannya untuk membantu mereka dalam mengelola emosi negatifnya melalui penggunaan Buku “Jendela Hatiku”. Metode yang digunakan adalah mentode penelitian tindakan (action research) yang terdiri dari dua siklus. Masing-masing siklus meliputi empat komponen, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, refleksi dan evaluasi. Subyek penelitian terdiri dari empat siswa tunarungu SLB B Aur Kuning Payakumbuh yang tinggal di asrama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi negatif pada subyek penelitian mengalami penurunan, subyek lebih mampu memanajemen emosi negatif yang dirasakan melalui mekanisme tahapan manajemen emosi negatif. Artinya bahwa penggunaan buku “Jendela Hatiku” dapat mengurangi emosi negatif pada anak tunarungu yang diasramakan di SLB B Aur Kuning Payakumbuh.
    Kata kunci: tunarungu, manajemen emosi, emosi negatif, asrama.


    PENDAHULUAN


    Sudah menjadi fitrah manusia untuk memiliki rasa atau perasaan baik yang bersifat positif (seperti cinta kasih, senang, bahagia, enjoy, dan sebagainya) maupun negatif (seperti marah, benci, iri hati, cemburu, sedih, dan sebagainya) yang harus diekspresikan termasuk juga anak tunarungu. Ketika seseorang merasakan sesuatu emosi, ia berusaha untuk mengekspresikannya dengan benar dan tepat. Artinya, ia bisa mengekspresikan emosi yang ia rasakan, orang lain memahami emosi yang dirasakannya dan emosi yang diekspresikan tidak berdampak bagi dirinya maupun bagi orang lain.
    Ketika seseorang merasakan dan mengekspresikan emosi positif, individu yang bersangkutan cenderung mampu mengelola emosi yang dirasakan tersebut dengan baik, bahkan akan mempengaruhi dinamika kehidupannya secara positif. Hal tersebut menjadi berbeda manakala individu merasakan dan mengekspresikan negatif, individu tersebut cenderung merasakan emosi yang dirasakan sebagai kejadian yang dirasa “menekan” sehingga mekanisme keseimbangan dirinya terganggu, orang tersebut mengalami stres (Familia, 2002). Setiap kondisi, betapapun ringannya seperti harus tinggal di asrama dirasakan oleh seseorang sebagai suatu gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini tidak disambut baik, apalagi jika seseorang anak harus dikondisikan tinggal di asrama sekolah yang jauh dari orangtua, dengan demikian emosi negatif akan muncul.
    Pengalaman menunjukkan bahwa anak-anak dari segala usia yang harus tinggal di asrama mengalami stres. Namun sejalan dengan perkembangan usia, ada kecenderungan terjadi perubahan distres (Sarafino, 1998). Anak, sebagai salah satu objek yang tidak lepas dari tuntutan dan stimulus sekitarnya, merupakan dasar bagi perkembangan anak terutama pola perkembangan emosinya. Berbagai macam reaksi sosial sangat mempengaruhi emosi-emosi anak. Sejumlah studi tentang emosi menunjukkan bahwa perkembangan emosi bergantung sekaligus pada faktor pematangan dan belajar, dan tidak semata-mata bergantung pada salah satunya.
    Jika seorang anak sering mengalami emosi negatif apalagi anak-anak yang tinggal jauh dari orangtua, akan mempengaruhi pola perkembangan kepribadian. Hal ini terlihat dari beberapa gejala antara lain: sering murung di dalam kelas, kurang bergairah dalam menjalani hidup dan kehidupan, cenderung berprasangka negatif dengan teman sebaya dan lingkungan, menyendiri, mudah tersinggung, dan sebagainya (Prawitasari, 2000). Gejala-gejala tersebut semuanya akan berdampak terhadap pencitraan akademiknya, seperti hasil belajar rendah, dan dropout dari sekolah.
    Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di asrama anak-anak tunarungu SLB B Aur Kuning Payakumbuh, menunjukkan bahwa dari beberapa anak yang diobservasi dan diwawancarai ada beberapa sikap dan kondisi emosi negatif yang terlihat:
    a. Bosan. Bosan muncul karena mereka tidak dapat melakukan banyak aktivitas sebagaimana yang mereka lakukan di lingkungan keluarga. Misalnya mereka bisa main di sungai, berenang, bermain ke rumah teman yang bukan anak berkebutuhan khusus, dan sebagainya.
    b. Kecewa dan sedih, manakala melihat beberapa teman seasrama sering dikunjungi orangtua dan kerabat, anak merasa kesepian dan merasa disingkirkan dari keluarga.
    c. Kesepian, muncul karena mereka dikumpulkan dan dikondisikan dengan anak-anak yang memiliki kondisi sama-sama mengalami kelainan. Mereka merasa dikondisikan dalam lingkungan yang sama, tidak ada teman-teman lain yang menjenguknya selain teman di asrama.
    d. Perasaan tidak berdaya, muncul karena ketidakberdayaan mereka melakukan berbagai aktivitas selain rutinitas asrama yang menurut mereka sangat monoton dan membosankan.
    e. Perasaan cemas dan takut, muncul ketika mereka diharuskan melakukan aktivitas yang kurang mereka sukai seperti: membersihkan kamar mandi, harus tidur pada jam tertentu, dan sebagainya.
    f. Perasaan iri hati, karena harus tinggal di asrama yang membuat mereka jauh dari kerabat dan keluarga lainnya.
    Ada beberapa upaya yang dilakukan sekolah dan pembina asrama untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan memberikan ketenangan, penjelasan dan tindakan menghibur lainnya. Namun, upaya tersebut kurang menunjukkan hasil yang maksimal. Hal ini terlihat dari cara anak mengekspresikan emosi negatifnya yang kurang tepat (seperti menjerit, menangis, mogok belajar, dan sebagainya) sehingga mengganggu interaksi anak dengan teman sebayanya, bahkan mengganggu proses pembelajaran di kelas.
    Apa yang terjadi pada anak-anak tunarungu tersebut dikuatkan oleh Sarafino (1998) bahwa kondisi ketika seseorang diharuskan berada dalam lingkungan tertentu yang monoton sering menimbulkan stres dan kesedihan yang cukup besar. Oleh karena itu, menurut Sarafino yang berada dalam kondisi tersebut harus melakukan coping (keterampilan menghadapi suatu masalah) terhadap emosinya dan mereka cenderung melakukan penyesuaian secara bertahap, yang disebut juga dengan emotion-focused coping. Anak akan berusaha mengelola emosi-emosi mereka misalnya dengan melakukan penolakan terhadap fakta-fakta yang tidak menyenangkan, menunjukkan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk menarik perhatian atau mencari dukungan sosial. Sedangkan yang tidak kuat mengelola emosi negatifnya akan memperlihatkan tanda-tanda sakit kepala dan sakit perut, kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, mudah kesal, sikap agresif, otot tegang, kecemasan dan depresi (Armstrong, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan individual di dalam melakukan coping ketika mereka sedang mengalami emosi negatif. Dengan demikian, maka perlu diberikan cara-cara menangani dan mengelola emosi negatif pada anak-anak yang mengalami kesulitan mengelola emosi negatif tersebut.
    Manajemen emosi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan, mengekspresikan, dan mengurangi emosi yang muncul karena persepsi individu terhadap kondisinya. Goleman (1995) menyatakan bahwa mengelola emosi disebut juga self regulating, yaitu kemampuan mengelola emosi berkaitan dengan cara seseorang mengakomodasi emosi yang dirasakannya. Manajemen emosi merupakan salah satu pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelektual sebagai salah satu tahapan dalam mencapai kecerdasan emosi (Prawitasari, 2000). Lebih lanjut Prawitasari mengemukakan 4 tahapan keterampilan emosi menuju kecerdasan emosi dan masing-masing tahapan terdiri dari 4 hal, yaitu:
    1. Persepsi, penilaian, dan ekspresi emosi. Tahap ini membutuhkan 4 kemampuan, yaitu: a)mengenal emosi secara fisik, rasa, dan pikir, b)mengenal emosi orang lain, desain, karya seni melalui bahasa, bunyi, penampilan dan perilaku, c) mengungkapkan emosi secara tepat dan mengungkapkan kebutuhan sehubungan dengan rasa-rasa tersebut,dan d)membedakan ungkapan rasa antara tepat dan tak tepat, jujur dan tak jujur.
    2. Fasilitas emosi untuk berpikir, terdiri dari: a)emosi memberikan prioritas pada pikiran dengan mengarahkan perhatian pada informasi penting, b)emosi cukup gamblang dan tersedia sehingga emosi tersebut dapat digunakan sebagai bantuan untuk menilai dan ingatan yang berhubungan dengan rasa, c) perubahan emosi mengubah perspektif individu dari optimis menjadi pesimis, mendorong untuk mempertimbangkan berbagai pandangan, d)keadaan emosi mendorong adanya pembedaan khusus dalam pemecahan masalah, misalnya ketika kebahagiaan memberikan fasilitas untuk penalaran induktif dan kreativitas.
    3. Pengertian dan penguraian emosi, yakni kemampuan untuk: a)memberikan label emosi dan mengenal hubungan antara berbagai kata dan emosi itu sendiri, misalnya hubungan antara menyukai dan mencintai, b)mengartikan bahwa emosi berkaitan dengan hubungan, misalnya kesedihan sering menyertai kehilangan, c)mengerti rasa yang kompleks, rasa cinta bersamaan dengan benci, seperti takjub adalah kombinasi takut dan terkejut, d)mengenal adanya perpindahan di antara emosi, seperti adanya perpindahan dari marah ke puas, atau marah ke malu.
    4. Pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelektual, terdiri dari kemampuan untuk:a) tetap terbuka terhadap perasaan baik yang menyenangkan maupun tidak, b)melibatkan diri atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi dengan mendasarkan pada pertimbangan adanya informasi atau kegunaan, c)memantau emosi secara reflektif dalam hubungan dengan diri sendiri dan roang lain, misalnya mengenai betapa jelas, khusus, berpengaruh, atau bernalar semuanya itu, dan d)mengelola emosi dalam diri sendiri dan orang lain dengan memadyakan emosi negatif dan memperbesar yang menyenagkan, tanpa menekan atau melebih-lebihkan informasi yang menyertainya.
    Dengan demikian, manajemen emosi negatif diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan, mengekspresikan, dan mengurangi emosi negatif yang muncul karena persepsi negatif individu terhadap kondisinya.
    Para ahli psikologi pendidikan menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan anak dan pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian. Armstrong (2000) misalnya menyatakan anak-anak dalam periode ini perlu mengalami berbagai perasaan, seperti kebahagiaan dan kesedihan, harapan dan ketakutan, cemburu dan bela rasa, supaya mereka memiliki dasar yang kuat untuk kehidupan emosional selanjutnya. Ini berarti bahwa ungkapan jujur emosi anak dalam berbagai bentuk harus diakui dan diberi peluang untuk menyalurkan perasaan yang sebenarnya dalam beberapa cara misalnya melalui seni.
    Armstrong menambahkan ada beberapa cara untuk melakukan manajemen emosi negatif pada anak, yaitu : a) melakukan kegiatan pemusatan mengurangi emosi negatif, b) mengubah perasaan melalui seni, c) memberikan keterampilan membantu diri sendiri untuk memerangi emosi negatif, d) mencari bantuan pakar melalui konseling profesional, e) menggunakan menulis dan menggambar untuk melepaskan emosi, f) membaca dengan perasaan, dan g) melibatkan dalam perencanaan yang berhubungan dengan dirinya.
    Manajemen emosi negatif melalui seni yang diberikan dapat melatih kepekaan rasa karena seni adalah suatu aktivitas yang banyak melibatkan rasa atau emosi. Seni menyalurkan perasaan-perasaan yang mengganggu ke jalan yang membangun, membantu mengurangi tingkat stres secara keseluruhan. Pengungkapan artistik membuka hati bagi pembelajaran baru, membuat anak bisa memperoleh kendali diri atas perasaan mereka dan membiarkan mereka mengubah emosi-emosi kuat ke dalam energi baru dan kreatif (Armstrong, 2000). Selanjutnya kegiatan menulis mampu mengurangi pengekangan psikologis seperti pikiran dan perasaan yang disebabkan karena peristiwa yang bersifat traumatis. Assagioli (Armstrong, 2000) menegaskan menulis merupakan bentuk katarsis yang hebat. Dalam menulis anak diberi toleransi dan kebebasan dalam mengungkapkan baik dalam kata-kata maupun dalam bentuk akhir tulisannya.
    Salah satu aktivitas yang melibatkan menulis dan menggambar adalah melalui penggunaan buku “Jendela Hatiku”. Buku ini adalah kreasi peneliti, yakni merupakan media tulis dan gambar yang terdiri dari kertas warna-warni untuk menceritakan pengalaman atau peristiwa yang dialami serta emosi yang dirasakan. Campbell (1996) menyatakan anak-anak dapat mengekspresikan identitas diri melalui tulisan yang memungkinkan adanya kesadaran diri, penerimaan diri, aktualisasi diri da pembukaan diri. Sedangkan menurut Gross dan Hayne (1998) anak-anak dapat menceritakan pengalaman emosional mereka melalui gambar yaitu dengan memberi kesempatan kepada anak untuk menuangkan emosi-emosi mereka dengan cara menggambar.

    Buku “Jendela Hatiku” terdiri dari:
    a. Lembar Depan, berisi identitas dan petunjuk pengisian yang berupa bimbingan cara mengisi buku “Jendela Hatiku”.
    b. Lembar Harian, terdiri dari : a)kertas warna warni, yaitu biru, kuning, merah muda dan hijau, yang masing-masing terdiri dari 4 lembar kertas polos dan bergaris,b)halaman polos disebelah kiri dan digunakan untuk mengambar, serta halaman bergaris disebelah kanan yang digunakan untuk menulis ungkapan ekspresi emosi.
    c. Lembar Evaluasi. Lembar evaluasi diperuntukkan bagi anak dan lebih merupakan lembar komunikasi antara anak dan orangtua. Melalui lembar evaluasi ini anak akan diberikan feedback (umpan balik) dan komentar sebagai bentuk kepedulian terhadap apa yang dirasakan oleh anak.
    Berangkat dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a) emosi-emosi negatif yang muncul pada anak-anak tunarungu yang diasramakan, b) faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya emosi negatif pada anak-anak tunarungu yang diasramakan, dan c) proses manajemen emosi pada anak-anak tunarungu yang diasramakan melalui penggunaan buku “Jendela Hatiku”.


    METODE

    Metode penelitian yang digunakan adalah action research berkolaborasi dengan pembina asrama. Peneliti berperan sebagai pemberi tindakan, sedangkan kolaborator sebagai pengamat aktif. Penelitian ini dilakukan di SLB B Aur Kuning Payakumbuh tahun 2007. Subyek penelitian empat orang anak tunarungu dengan kriteria: a) mengalami gangguan pendengaran dan atau gangguan komunikasi dan atau gangguan kesulitan belajar dengan kecerdasan rata-rata yang berusia antara 9-12 tahun. Dengan asumsi bahwa anak pada usia ini sedang berada pada tahap perkembangan industry versus inferiority, b) mendapat izin dari pembina asrama untuk dijadikan subyek penelitian, c) memungkinkan melakukan kegiatan menulis dan atau menggambar, dan d) tinggal di asrama anak-anak tunarungu SLB B Aur Kuning Payakumbuh.
    Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur serta skala deteksi emosi dan observasi. Wawancara terstruktur diberikan sebelum dan sesudah intervensi kepada subyek, berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan emosi-emosi yang dirasakan selama tinggal di asrama dengan menyertakan simbol-simbol sebagai simbol berbagai macam emosi yang dirasakan. Pernyataan dibacakan peneliti, kemudian subyek diminta menunjuk gambar simbol emosi sesuai dengan yang dirasakannya saat itu. Jawaban subyek ditanyakan lagi secara mendalam dan dicatat. Wawancara juga dilakukan dengan pembimbing asrama, guru kelas, orangtua dan beberapa pihak lain yang terkait.
    Sedangkan skala deteksi emosi dan observasi digunakan untuk mengungkap bagaimana respon subyek secara fisik ketika diberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perasaannya sebelum dan sesudah tindakan. Respon subyek secara fisik ini kemudian diskor dan akan diartikan dengan kemampuan anak yang diasramakan dalam mengelola emosinya. Tekniknya dengan mengamati beberapa aspek berikut:a) ekspresi wajah, terdiri dari kerutan di dahi, kerutan diantara mata, kerutan di sekitar mata, di sekitar hidung, dan tarikan bibir, b) gerakan tangan dan tubuh, terdiri dari gerakan jari-jari tangan, dan rentang lengan, dan c) nada suara.
    Sedangkan buku “Jendela Hatiku” merupakan alat intervensi dengan menulis dan menggambar. Subyek secara kondisonal sesuai waktu diminta kesediaannya mengungkapkan pengala¬mannya dan perasaannya selama tinggal di asrama. Setelah subyek selesai berekspresi melalui tulisan dan gambar, peneliti membaca apa yang ditulis dan digambar subyek dan memberikan umpan balik. Tujuannya memotivasi subyek untuk selalu optimis mengungkapkan perasaannya dengan bebas.


    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Deskripsi Data Emosi Negatif Subyek sebelum Menulis dan Menggambar
    Subyek Dd.
    Merasa sedih ketika orang tua jarang mengunjungi ke asrama, dimarahi pembina asrama, tidak diizinkan bermain oleh pembina asrama. Merasa kecewa ketika diperlakukan tidak adil oleh orangtua jika dibandingkan perlakuan terhadap kedua saudaranya. Merasa marah ketika orangtua sering memukul jika makan sambil menonton televisi (jika berada di rumah orangtua). Merasa iri hati ketika melihat teman seasrama sering dikunjungi oleh orang tuanya. Jika emosi negatif dirasakan sering mengalami kejang, kaku, dan berkeringat, menangis, bahkan lari ke hutan dekat asrama, namun lama kelamaan kembali ke asrama karena takut dimarahi pembina asrama.
    Subyek Nk.
    Merasa sedih ketika uang habis, dan disuruh pinjam uang oleh pembina asrama. Kecewa ketika ada teman sekolah yang mendapatkan piala atau disuruh mewakili sekolah ke luar kota. Marah ketika uang habis, orangtua telat datang ke asrama. Iri dengki ketika melihat teman berbicara-bicara tanpa mengajaknya dan ketika teman mendapatkan hadiah dari sekolah.
    Subyek Vn.
    Merasa sedih dan marah ketika uang habis, orangtua telat datang ke asrama. Kecewa ketika menghadapi adik asrama suka sekali mengompol, dan diharuskan selalu mencuci bekas ompol. Marah ketika menghadapi teman seasrama mengatakan ia jelek.
    Subyek Rd.
    Merasa sedih ketika disuruh pembina asrama tidur, sementara ia masih ingin bermain. Kecewa ketika subyek bermain dengan adik-adik asrama, jika ada adik asrama yang menangis, selalu ia yang dimarahi. Marah ketika pembina asrama selalu membela adik asrama dan mengatakan ke subyek: ”kasihan deh lu”. Iri hati ketika melihat teman seasrama diberi hadiah.
    Data tersebut didiskusikan dengan kolaborator, kemudian direncanakan pelaksanaan tindakan menulis dan menggambar dengan menggunakan buku “Jendela Hatiku”.
    Identifikasi Emosi Negatif Anak Tunarungu yang di Asramakan
    Identifikasi emosi negatif yang dirasakan diperoleh dari hasil gambar dan tulisan yang dibuat subyek. Deskripsi hasil gambar dan tulisan diperoleh setelah dikonfirmasi kepada subyek. Ketika subyek ditanya tentang emosi negatif yang dirasakan, beberapa subyek memberikan respon berbagai reaksi emosi negatif. Hal ini terlihat dari temuan berikut:
    Sedih
    Emosi dasar yang dirasakan oleh anak tunarungu yang diasramakan adalah sedih. Sedih karena berpisah dengan orangtua, saudara dan anggota keluarga dan dapat menyebabkan stres. Anak-anak yang terbiasa melakukan banyak aktivitas di rumah dan lingkungan keluarganya akan cenderung mengalami stres jika harus dikondisikan tinggal di asrama. Hal yang paling rentan menjadi sumber stres pada anak-anak yang diasramakan adalah keterpisahan dari orangtua mereka (Sarafino, 1998).
    Emosi sedih dirasakan oleh semua subyek yakni jika orangtua jarang datang ke asrama dan melihat temannya sering dikunjungi orangtuanya. Meskipun semua subyek memberikan respon emosi sedih, namun ada perbedaan ekspresi emosi sedih yang dirasakan oleh masing-masing subyek. Satu subyek saat sedih diekspresikan dengan lari jauh ke halaman belakang asrama. Ada subyek lain dengan berdiam diri di kamar tanpa berkomunikasi sekalipun dengan anak lain. Bahkan ada yang mengekpresikan dengan menangis di kamar.
    Marah
    Emosi marah biasanya muncul ketika terjadi konflik, tidak terpenuhinya keinginan dan mengalami gangguan. Ekspresi marah yang munculpun akan bersifat meledak-ledak (tantrums) dalam bentuk menangis, menendang, memukul dan berteriak-teriak. Respon emosi marah muncul hanya pada beberapa subyek.
    Selama diasrama subyek dituntut untuk mandiri, tinggal jauh dari keluarga. Kondisi ini menyebabkan anak merasa dijauhkan dari kebiasaan dan lingkungan keluarganya. Emosi marah muncul ketika subyek jarang dikunjungi atau tidak dikunjungi sama sekali oleh orangtua. Emosi marah juga timbul ketika subyek pulang ke rumah dan orangtua melarang bermain bersama teman-teman di rumah.
    Irihati
    Emosi irihati muncul ketika subyek sering melihat teman seasramanya dikunjungi orangtuanya, sementara subyek jarang dikunjungi orangtua. Berbagai ekspresi muncul, ada subyek yang menghindar dan pergi ke kolam pemancingan untuk menenangkan atau menghibur diri. Ada subyek yang menyendiri dan mengurung diri di kamarnya.


    Tabel 1
    Hasil Identifikasi Emosi Negatif Subyek

    No Identifikasi Emosi Negatif Subyek
    Dd Nk Rd Vn
    1 Sedih √ √ √ √
    2 Marah √ √
    3 Irihati √ √ √



    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Emosi Negatif
    Anak Tunarungu yang Diasramakan
    Faktor yang mempengaruhi timbulnya emosi negatif pada anak tunarungu yang diasramakan terdiri dari tiga emosi, yaitu sedih, irihati dan marah.


    Tabel 2
    Faktor Penyebab Emosi Sedih Subyek

    No Faktor-faktor Penyebab Emosi Sedih Subyek
    Dd Nk Rd Vn
    1 Terpisah dari orangtua, saudara dan lingkungan keluarga √ √ √ √
    2 Jarang dikunjungi oleh orangtua atau sanak saudara √ √
    3 Jarang dikirimi paket atau terlambat dikirimi uang √ √
    4 Sering melihat penghuni asrama lainnya diperhatikan dan dikunjungi oleh orangtuanya √ √ √ √



    Sedih
    Penyebab emosi negatif sedih yang paling banyak dialami subyek adalah:a) terpisah dari orangtua, saudara dan lingkungan keluarga,b) sering melihat penghuni asrama lainnya diperhatikan dan dikunjungi oleh orangtuanya. Namun untuk subyek Rd dan Vn sudah tidak timbul lagi gejala emosi negatif sedih ketika jarang dikunjungi oleh orangtua dan berbeda dengan Dd dan Vn saja yang tidak sedih ketika tidak mendapat kiriman paket atau uang oleh orangtua masing-masing. Tingkat gejala sedih timbul setiap subyek berbeda karena tingkat kemampuan manajemen emosi mereka juga berbeda.


    Tabel 3
    Faktor Penyebab Emosi Irihati Subyek

    No Faktor-faktor Penyebab Emosi Irihati Subyek
    Dd Nk Rd Vn
    1 Kawannya sering dikunjungi oleh orangtua atau sanak saudara, sementara ia tidak pernah dikunjungi. √ √
    2 Jarang dikirimi paket atau terlambat dikirimi uang, sementara temannya selalu mendapat kiriman paket atau uang. √ √


    Irihati
    Emosi irihati yang paling stabil dimiliki oleh subyek Vn karena dari kedua penyebab ia tidak mengalami emosi negatif. Sedang yang emosinya tidak stabil adalah Niki karena dari kedua faktor penyebab timbulnya emosi irihati memberikan respon keduanya. Sementara emosi irihati Subyek Dd dan Rd timbul oleh faktor penyebab yang berbeda-beda. Dd irihati ketika kawannya sering dikunjungi oleh keluarga mereka masing-masing, sementara Rd lebih ekspresif emosi irihati ketika temannya sering memperoleh kiriman paket atau uang.


    Tabel 4
    Hasil Identifikasi Faktor Penyebab Emosi Marah

    No Faktor-faktor Penyebab Emosi Marah Subyek
    Dd Nk Rd Vn
    1 Marah jika dilarang orang tua menonton TV keseharian di rumah √ √ √
    2 Marah jika dilarang bermain dengan teman sebaya ketika pulang ke rumah √ √


    Marah
    Subyek yang memiliki emosi marah paling sering adalah Vn, sedang yang paling rendah adalah Dd. Penyebab timbulnya emosi negatif marah subyek adalah kekesalan kepada orang tua yang jarang mengunjungi atau memberi kasih sayang kepadanya.
    Manajemen Emosi Negatif Melalui Buku “Jendela Hatiku” pada Anak Tunarungu yang Diasramakan
    Emosi negatif yang dirasakan oleh anak tunarungu yang diasramakan tidak selalu diekspresikan dalam bentuk yang sama, walaupun disebabkan oleh situasi dan faktor yang sama. Untuk mengendalikan kondisi emosi sedih, marah dan irihati, subyek melakukan respon emosional sebagai salah satu bentuk coping. Kemampuan coping emosional inilah yang disebut dengan manajemen emosi. Kemampuan manajemen emosi selalu berbeda-beda dalam setiap kasus, namun dalam penelitian ini ditemukan tahapan manajemen emosi yang dilakukan oleh anak tunarungu yang diasramakan sebagai bentuk coping emosional.
    Mengekpresikan Emosi Negatif
    Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan subyek mengekpresikan emosi negatif muncul secara spontan. Ekspresi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman mereka terhadap peristiwa yang mencetuskan munculnya emosi. Sedih jika melihat temannya sering dikunjungi orangtuanya, takut jika dimarahi pembina asrama. Emosi yang dirasakan juga diekspresikan dalam bentuk non verbal. Misalnya, murung, suka menyendiri dan berdiam diri di kamar, raut wajah kuyu, suka menyendiri ke kolam pemancingan ikan, dan sebagainya.
    Setelah diberikan buku “Jendela Hatiku” subyek mengalami peningkatan dalam mengelola emosi negatifnya, subyek mengekpresikan emosi negatifnya dalam bentuk memadyakan emosi yang dirasakan, sehingga ketika timbul emosi negatif subyek sudah terasa tenang. Misalnya, jika subyek sedih dan kecewa orangtua tidak datang, ia tidak lagi lari dan menenangkan diri di kolam. Ia cukup masuk ke dalam kamar dan kemudian asyik mencoret-coret serta membuat sketsa apa saja yang disukainya.
    Memikirkan Peristiwa-peristiwa secara Mendalam
    Kesedihan yang dialami subyek karena jauh dari orangtua, saudara dan teman-teman sepermainannya muncul ketika subyek menerima stimulus kesedihan seperti temannya sering dikunjungi orangtua, dikirimi hadiah dan dikunjungi keluarga. Stimulus tersebut menyebabkan pemikiran yang mendalam pada subyek. Berbagai pertanyaan timbul seperti: ”Kenapa tidak dikunjungi orangtua? Kemana orang tuanya? Dan kenapa tidak ada kiriman sesuatu? Hal ini mengakibatkan berbagai ekspresi emosi negatif seperti: kejang dan kaku pada jari-jari, menyendiri, menangis dan lari untuk melepaskan kepenatan pikirannya. Seperti yang peristiwa yang dirasakan oleh subyek dalam mengekpresikan kesedian, kemarahan dan irihati, membutuhkan dukungan dan perhatian dari orang lain.
    Langkah memikirkan secara mendalam peristiwa-peristiwa ini dapat menimbulkan stres yang dalam sehingga membutuhkan intervensi dari orang lain. Bentuk intervensi biasanya dilakukan oleh para pembina asrama dengan memberi berbagai penjelasan, arahan dan dorongan psikis kepada anak-anak yang muncul emosi negatifnya.
    Melibatkan atau Menarik Diri secara Reflektif dari Suatu Emosi
    Kondisi emosi sebagai respon dari stimulus dan pembentukan suasana baru yang jauh atau terpisah dari orangtua, saudara dan keluarga menyebabkan subyek menarik diri diri secara reflektif dari suatu emosi. Subyek cenderung menarik diri dan melibatkan diri dalam berbagai aktivitas seperti bermain, memancing, berinteraksi dengan teman, pembina maupun berbaur dengan teman-temannya.
    Penarikan emosi secara reflektif juga dibantu oleh pembina seperti yang dialami salah satu subyek, ketika ada temannya dikunjungi orang tuanya, ia lari menjauh ke belakang kebun asrama. Pembina asrama mencari dan memanggilnya, dihibur, diberi pengertian dan diajak berbaur dengan orangtua teman yang datang. Setelah diberikan buku “Jendela Hatiku” subyek sudah jarang lari dan menghindar jika ada orangtua temannya yang datang, tetapi mencoba mengalihkan pada sketsa gambar atau berbaur dengan temannya yang lain.
    Memadyakan Ekspresi Emosi Negatif dengan Memperbesar Emosi Positif
    Secara sosial keadaan terpisah dari orangtua, saudara, teman-teman sepermainan, dan lingkungan keluarga membuat subyek merasa kesepian, bosan dan merasa kehilangan kasih sayang orangtua dan keluarga. Kondisi tersebut memunculkan emosi-emosi negatif sehingga membutuhkan intervensi psikologis agar dapat mengelola respon emosinya. Adanya media untuk katarsis mental berupa kegiatan menulis dan menggambar membuat anak lebih mudah mengekspresikan apa yang dirasakan sehingga anak akan merasakan suatu kelegaan atau perasaan tanpa beban.
    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen emosi negatif melalui buku “Jendela Hatiku” melibatkan proses ekstrinsik dan intrinsik. Proses ekstrinsik dan intrinsik ini bertanggungjawab dalam pembelajaran untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi-reaksi emosi (Prawitasari, 1998). Pada keempat kasus di atas reaksi emosi negatif yang muncul diekspresikan secara spontan.
    Ekspresi emosi negatif secara spontan dalam tulisan dan gambar yang dibuat merupakan suatu proses intrinsik yang melibatkan kognitif, afektif dan fisik. Subyek yang merespon emosi sedih yang disebabkan oleh pengalaman-pengalamannya diolah baik secara pikir, rasa maupun fisik. Hal ini memunculkan perubahan reaksi emosi negatif yang pernah dialami oleh subyek. Reaksi ini melibatkan strategi untuk mempertahankan, meningkatkan, mengontrol, dan atau menghambat emosi-emosi dalam usaha untuk mencapai tujuan (Goleman, 1995).
    Secara umum berdasarkan temuan dalam penelitian ini terdapat dua strategi dalam mengontrol emosi negatif yaitu surface acting dan deep acting. Deep acting merupakan usaha pencapaian tujuan secara spontan, manajemen emosi secara strategis dan merasakan perasaan yang diinginkan secara spontan. Planalp (1999) menyatakan bahwa strategi manajemen emosi dapat digunakan untuk memanajemen emosi dalam diri sendiri, emosi orang lain, atau keduanya. Strategi deep acting berdasarkan temuan penelitian ini masih pada taraf manajemen emosi untuk diri sendiri. Manajemen emosi ini melalui empat tahap, yaitu mengekspresikan emosi, memikirkan peristiwa-peristiwa secara mendalam, melibatkan atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi, dan memadyakan ekspresi emosi negatif dengan memperbesar ekspresi emosi positif.
    Secara khas, seseorang dapat menggunakan beberapa strategi tersebut secara simultan, namun strategi tersebut bekerja dengan cara yang berbeda. Strategi manajemen emosi tidak berhenti setelah dilakukan, namun ia merupakan bagian yang menyeluruh dari proses emosi yang lengkap dan dibangun dari komponen lain seperti objek, nilai-nilai, dan kecenderungan perilaku atau ekspresi. Manajemen emosi dapat dilakukan empat tahap yaitu manajemen peristiwa-peristiwa yang muncul, manajemen pertimbangan akan nilai-nilai, manajemen ekspresi dan impresi, serta strategi sosial dan antisosial (Planalp, 1999).
    Manajemen peristiwa-peristiwa yang muncul merupakan strategi yang dilakukan mulai dari menghindari situasi sampai melakukan pengukuran yang nyata mengenai situasi tersebut. Hal ini nampak pada reaksi emosi subyek ketika mengalami reaksi emosi negatif kemudian diekspresikan melalui tulisan dan gambar dengan menceritakan kembali peristiwa-peristiwa yang dialami kemudian diukur secara nyata melalui penilaian emosi yang dirasakan ketika menulis dan menggambar.
    Manajemen pertimbangan akan nilai-nilai merupakan ekspresi emosi yang direaksi oleh subyek dalam suatu perilaku dilakukan dengan pertimbangan nilai-nilai sosial. Emosi sedih yang dirasakan tidak secara langsung diekspresikan dalam bentuk menangis, namun subyek mengekspresikannya dalam bentuk gambar yang memberi kesan sedih. Manajemen ekspresi dan impresi merupakan pengontrolan terhadap emosi yang dirasakan dan yang diekspresikan. Hal ini terlihat dari reaksi-reaksi emosi negatif tertentu yang diekspresikan secara spontan oleh subyek dalam bentuk gambar, ekspresi wajah dan isyarat tubuh (gesture). Ketika subyek merasakan emosi sedih, ia mengekspresikannya melalui wajah dengan menampakkan kerutan di sekitar mata. Strategi yang terakhir adalah strategi sosial dan antisosial. Emosi dapat dimanajemen secara sosial dengan mencoba menciptakan suatu impresi atau perilaku tertentu, dengan harapan hal itu akan menjadi kenyataan. Subyek dengan strategi ini diharapkan akan mempercepat meredakan emosi atau menata tingkatan emosi yang lebih stabil. Dalam hal ini mengambar dapat menciptakan subyek pada suatu kondisi yang tenang, mengekresikan segala sesuatu yang dirasakan ke dalam gambar dengan lebih stabil.
    Hasil penelitian juga menemukan bahwa tidak semua subyek melakukan keempat strategi deep acting untuk memanajemen emosi, yaitu tidak dilakukannya strategi manajemen ekspresi dan impresi. Hal ini disebabkan faktor latar belakang subyek, terutama dari keluarga yang sangat mempengaruhi identifikasi emosinya. Temuan ini sejalan dengan pendapat Gross & Hayne (1998) yang menyatakan bahwa anak-anak melakukan penolakan mengalami emosi negatif yang berhubungan dengan penolakan, sebagai konsekuensi mereka belajar untuk menonaktifkan ekspresi dari perasaan negatifnya dengan menolak jalinan hubungan dekat, kemudian menghilangkan dan membutakan semua pengalaman afeksinya. Dalam interaksi dengan anak, model ekspresi emosi orangtua sejalan dengan teknik pengaturan emosi yang dilakukan anak-anak (Ekman, 1980).


    KESIMPULAN


    1. Emosi negatif yang sering muncul pada anak-anak tunarungu yang diasrama¬kan adalah sedih, marah, dan irihati. semua subyek
    2. Emosi negatif yang sama-sama dirasakan oleh adalah emosi sedih, yakni pada saat anak-anak tunarungu yang diasramakan lama tidak dijenguk orangtua dan keluarga.
    3. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya emosi negatif pada anak tunarungu yang diasramakan adalah: a) terpisah dari orangtua, saudara dan lingkungan keluarga, b) jarang dikunjungi oleh orangtua atau sanak saudara, c) jarang dikirimi paket atau terlambat dikirimi uang, d) sering melihat penghuni asrama lainnya diperhatikan atau dikunjungi oleh orangtuanya, e) marah jika dilarang orangtua menonton TV seharian di rumah, dan f) marah jika dilarang bermain oleh orangtua saat pulang ke rumah.
    4. Manajemen emosi negatif yang dilakukan pada anak tunarungu yang diasramakan melalui empat tahap, yaitu: a) mengekspresikan emosi negatif secara spontan, b) memikirkan peristiwa-peristiwa secara mendalam, c) melibatkan atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi, dan d) memadyakan ekspresi emosi negatif dengan memperbesar ekspresi emosi positif.
    5. Setelah digunakan buku “Jendela Hatiku”, emosi negatif pada subyek mengalami penurunan, subyek lebih mampu memanajemen emosi negatif yang dirasakan melalui mekanisme tahapan manajemen emosi negatif. Dengan demikian, penggunaan buku “Jendela Hatiku” dapat mengurangi emosi negatif pada anak tunarungu diasramakan di SLB B Aur Kuning Payakumbuh.


    DAFTARPUSTAKA


    Armstrong, T. (2000). Setiap Anak Cerdas, Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Inteligensinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
    Ekman, P. Friesen, V.W, & Ancol, C. (1980). Facial Signs of Emotional Experience. Journal of Personality & Social Psychology.
    Familia. (2002). Artikel : Menyadari Stres pada Anak.Majalah No. 9 Tahun ke-3 Juli 2002. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.
    Goleman, D. (1995). Emotional Intellegence: Why It Can Matter More Than IQ. London: Bloomsburry Publishing.
    Gross, J & Hayne, H. (1998). Drawing Facilities Children’s Verbal Reports of Emotionally LadenEvents. Journal of Experimental Psychology Applied. Vol 4, No. 2, hal 1-17.

    Marlina. (2008). Manajemen Emosi Negatif Melalui Buku “Jendela Hatiku” pada Anak Tunarungu yang Diasramakan (Residentialized Children).Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.
    Planalp, S. (1999). Communicating Emotion : Social, Moral and Cultural Processes. Cambridge: Cambridge University Press.
    Prawitasari, JE. (2000). Pengembangan Deteksi Emosi pada Pasien Rumah Sakit Umum.Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
    Prawitasari, JE. (1998). Kualitas Emosi dalam Penelitian Emosi. Jurnal Psikologi, XXV (1). hal 1-16.
    Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology: Biopsychology Interaction. Massachussets: John Wiley & Sons

    Label: