Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Jumat, 27 Januari 2012

    Meningkatkan Kemampuan Percakapan Bahasa Inggris dengan Model Make a Match pada Siswa Tunarungu Wicara dan Tunagrahita Kelas VII SMPLB

    Endah Dwi Hastuti
    SLB Hamong Putro Sukoharjo

    ABSTRAK

    Penelitian tindakan kelas ini bertujuan meningkatkan kemampuan siswa tunarungu wicara dan tunagrahita kelas VII SMPLB dalam percakapan Bahasa Inggris. Ada beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab rendahnya kemampuan siswa dalam percakapan bahasa Inggris, seperti tidak tertarik atau kurang senang karena pembelajarannya monoton dan pasif. Penelitian ini dilakukan melalui penerapan model pembelajaran “Make a Match” berdasar pada situasi yang nyata dengan menggunakan media visual aids berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara kuantitatif pada siklus pertama cukup baik dengan rata-rata 5,38 atau 67,25% dan siklus kedua adalah baik dengan rata-rata 7,0 atau 87,5%. Artinya, dari siklus pertama ke siklus kedua, ada perbaikan sebesar 0,75 atau 20,25%. Secara kualitatif, respon siswa pada model pembelajaran ini positif, yaitu membuat siswa lebih aktif dan lebih senang dalam mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran “Make a match” ini mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa percakapan dan pada akhirnya mampu meningkatkan nilai pada masing-masing siswa.
    Kata kunci: Tunarungu, tunagrahita, SMPLB, percakapan Bahasa Inggris, make a match,

    PENDAHULUAN


    Bagi siswa SMPLB, Bahasa Inggris merupakan merupakan materi baru, sehingga memerlukan kemampuan khusus untuk dapat memahaminya dengan baik. Apalagi bagi siswa tunarungu wicara (B) dan siswa tunagrahita (C) atau sering dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK).
    Salah satu standar kompetensi yang harus diajarkan pada siswa tunarungu dan tunagrahita di SMPLB adalah berbicara (speaking) dan di dalamnya terdapat kompetensi dasar percakapan transaksional/ interpersonal sangat sederhana dengan melibatkan berbagai tindak tutur. Keterbatasan kemampuan anak tunarungu dan tunagrahita menyebabkan mereka kurang mampu dalam percakapan, apalagi kalau guru menyampaikan materi dengan metode yang monoton, kurang menarik, tidak melibatkan seluruh siswa dan tanpa media pendidikan yang dapat mempermudah dan memperjelas materi. Tujuan utama pembelajaran Bahasa Inggris adalah agar siswa berlaku aktif dan mampu memahami materi tersebut sebagaimana yang telah digariskan dalam kurikulum.
    Memperhatikan realita diatas, perlu adanya solusi untuk dapat meningkatkan kemampuan percakapan Bahasa Inggris, sehingga siswa lebih mudah memahami konsep–konsep yang terkandung didalamnya, melibatkan seluruh siswa untuk ikut aktif tanpa mengesampingkan ketepatan, kemanfaatan dan kesesuaian metode yang digunakan dengan materi yang dibahas dengan menambah variasi model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa sebagai alternatif pilihan bagi pemecahan masalah tersebut.
    Sesuai Standar Isi tahun 2006 pembelajaran Bahasa Inggris terdiri dari 4 (empat) standar kompetensi yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Keempat standar kompetensi tersebut harus diajarkan agar siswa mampu menguasai materi sesuai yang diharapkan.
    Terutama untuk standar kompetensi berbicara (speaking), yaitu mengungkapkan makna dalam teks percakapan transaksional/interpersonal lisan dan/atau isyarat sangat sederhana untuk berinteraksi dengan lingkungan terdekat. Adapun kompetensi dasarnya yaitu menggunakan makna dalam ragam bahasa lisan terutama dalam percakapan transaksional/ interpersonal sangat sederhana dan berterima yang melibatkan tindak tutur: menyapa yang belum/sudah dikenal, memperkenalkan diri sendiri/orang lain, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, memerintah atau melarang, meminta dan memberi informasi, mengungkapkan kesantunan.
    Bagi siswa tunarungu dan tunagrahita, pencapaian kompetensi dasar di atas tentu tidak mudah, sehingga diperlukan model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan siswa dengan media tertentu sehingga tanpa terasa siswa dapat melakukan percakapan dengan Bahasa Inggris. Salah satu model pembelajaran yang dipandang sesuai untuk pembelajaran Bahasa Inggris untuk siswa tunarungu maupun tunagrahita di SMPLB adalah model Make a match. Dalam bahasa Indonesia model ini disebut model pembelajaran mencari pasangan. Menurut Lorna Curran, (LPMP, 2008:13) dalam model pembelajaran make a match langkah-langkahnya, yaitu: 1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaiknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban, 2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu, 3. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang, 4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban), 5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin, 6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, 7. Demikian seterusnya, 8. Kesimpulan/penutup.
    Berdasarkan model pembelajaran di atas, pada penelitian ini guru menyiapkan kartu-kartu baik kartu gambar maupun kartu kata dan bisa juga berwujud benda nyata yang ada di sekitar kelas, misalnya buku, bolpen, penghapus, papan tulis, penggaris, tas, payung, gunting, bola, sepeda dan lain-lain. Benda nyata, kartu gambar maupun kartu kata yang disiapkan guru merupakan materi yang harus sesuai dengan sesi review pada saat pembelajaran tersebut. Benda nyata, kartu gambar maupun kartu kata yang disiapkan guru dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama untuk kartu soal dan bagian kedua untuk kartu jawaban.
    Setiap siswa diberi satu kartu, pada saat permainan kartu yang dipegang dapat berupa kartu soal maupun kartu jawaban. Untuk memandu, kartu soal pada awal kegiatan dipegang guru dan seluruh siswa memegang kartu jawaban tetapi hanya ada satu jawaban yang benar. Bagi siswa yang memegang kartu jawaban benar maka harus lari mendekati pasangan yang memegang kartu soal (baik itu guru maupun siswa) kemudian harus membacanya terlebih dahulu bila sudah hafal/lancar maka pasangan yang membawa kartu soal dan kartu jawaban melakukan percakapan seperti pada kartu yang dipegang masing-masing.
    Setiap siswa yang dapat mencocok¬kan antara kartu soal dengan kartu jawaban, kemudian dapat melakukan percakapan seperti dalam kartu yang dipegang sebelum batas waktu habis, akan mendapat hadiah sebagai pengganti poin.
    Dalam penelitian ini kartu gambar, kartu kata, dan benda nyata yang digunakan berfungsi sebagai media visual aids atau alat peraga yang diasumsikan dapat membantu para siswa dalam memahami materi Bahasa Inggris khususnya dalam berbicara percakapan Bahasa Inggris.
    Dalam kaitannya dengan media visual aids banyak ahli pendidikan berpendapat bahwa visual aids adalah teknik pembelajaran dengan penggunaan alat bantu pandang yang berupa gambar, poster, diagram dan leaflet (Sudjana, 2001:83). Sedangkan Soedjono (1956:84) menyatakan bahwa alat peraga visual adalah alat peraga yang dapat dilihat. Pada waktu menerima peragaan, indera yang aktif adalah penglihatan (mata). Adapun alat peraga auditif visual adalah alat peraga yang dapat dilihat dan didengar. Pada waktu menerima peragaan, indera yang aktif adalah pendengaran dan penglihatan (telinga dan mata). Adapun Isbani dkk (1989:23) berpendapat bahwa media pendidikan audio visual aids adalah alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.
    Sementara itu Bobby de Porter (2000:67) mengatakan bahwa sebuah gambar lebih berarti dari seribu kata. Jika anda menggunakan alat peraga dalam situasi belajar, akan terjadi hal yang menakjubkan. Bukan hanya mengawali proses belajar dengan cara merangsang modalitas visual, alat peraga juga secara harfiah menyalakan jalur syaraf seperti kembang api di malam lebaran. Beribu-ribu asosiasi tiba-tiba diluncurkan ke dalam kesadaran. Kaitan ini menyediakan konteks yang kaya untuk pembelajaran yang baru.
    Digunakannya benda nyata, kartu gambar, kartu kata sebagai media visual aids dalam penelitian ini didasari oleh hasil penelitian Glenn Doman dan Janet Doman (2006) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan bantuan kartu kata yang berlanjut dengan kartu kalimat telah terbukti mampu merangsang anak-anak cedera otak, baik dalam kemampuan membaca maupun kemampuan lainnya. Dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “What To Do About Your Brain-Injured Child” tentang seorang anak cedera otak berat berumur tiga tahun bernama Tomy yang divonis tidak akan pernah bisa berjalan atau berbicara, sehingga dia harus tinggal di lembaga perawatan seumur hidup, tetapi setelah menjalankan program intervensi dengan cara mengajarkan berbagai pengetahuan dengan menggunakan kartu kata, Tomy mengalami banyak kemajuan. Setelah enam puluh hari menjalankan program Tomy sudah dapat merangkak dengan tangan dan lututnya. Pada kunjungan ketiga Tomy sudah dapat mengucapkan dua kata pertamanya yaitu “Mama” dan “Papa”. Atas kegigihan orangtuanya pada usia empat tahun dua bulan Tomy sudah dapat membaca buku, dan pada kunjungan yang kesebelas Tomy sudah dapat membaca apa saja dengan lancar dengan tekanan dan nada suara yang tepat, serta dapat memahami maknanya. Semua itu dilakukan orangtuanya dengan menggunakan kartu kata. Kondisi ini menjadikan Tomy tidak perlu menghabiskan hidupnya di lembaga perawatan dan mampu belajar di sekolah khusus.
    Hasil penelitian di atas, memperkuat harapan peneliti agar anak-anak tunarungu wicara dan anak tunagrahita dalam meningkatkan kemampuan percakapan Bahasa Inggris, mengingat kondisi fisik dan psikisnya tidak separah anak-anak cedera otak.


    METODE


    Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VII anak tunarungu wicara (SMPLB B) dan anak tunagrahita (SMPLB C) di SLB B-C Hamong Putro Jombor Sukoharjo tahun pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 8 anak, 4 siswa perempuan anak tunarungu wicara (SMPLB B) dan 4 siswa laki-laki anak tunagrahita (SMPLB C).
    Dalam penelitian ini terdapat dua macam variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Model pembelajaran make a match merupakan variabel bebas dan meningkatnya kemampuan percakapan Bahasa Inggris merupakan variabel terikat.
    Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yaitu penelitian yang berbasis pada kelas. Dengan penelitian ini diperoleh manfaat berupa perbaikan praktis yang meliputi penanggulangan berbagai permasalahan belajar siswa dan kesulitan mengajar guru.
    PTK ini dilaksanakan dalam bentuk proses berdaur 4 tahap sebagaimana yang ditulis Suharsimi Arikunto (2004:16) yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan dan (4) refleksi.
    Penelitian tindakan ini dilakukan dalam dua siklus, setelah pada siklus I dilakukan refleksi akan muncul pemasalahan baru sehingga perlu dilakukan perencanaan ulang, pelaksanaan ulang, tindakan ulang, pengamatan ulang serta refleksi ulang.
    Siklus I bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris yang kemudian digunakan sebagai bahan refleksi untuk melakukan tindakan pada siklus II, sedang siklus II bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris setelah dilakukan perbaikan terhadap pelaksanaan pembelajaran berdasarkan hasil refleksi siklus I.
    Teknik penggumpulan data dilakukan melalui tes dan nontes. Tes, digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris setelah proses pembelajaran melalui penerapan model pembelajaran make a match dengan menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata. Tes dilakukan pada tiap siklus penelitian.
    Pengumpulan data melalui nontes dilakukan melalui tiga teknik, yaitu observasi, wawancara dan jurnal.
    Observasi digunakan untuk memperoleh gambaran tingkat kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris dan perubahan tingkah laku yang menyertai pada saat proses pembelajaran diterapkan model pembelajaran make a match dengan menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata sebagai media pendidikan atau alat peraga. Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung proses dan hasil yang diperlukan untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya yang berupa langkah perbaikan agar lebih efektif dan efisien.
    Wawancaradigunakan untuk mendapatkan data kualitatif berupa tanggapan maupun jawaban tentang kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris dan perubahan tingkah laku yang menyertai setelah diterapkan model pembelajaran make a match dengan menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata sebagai media pendidikan atau alat peraga melalui tanya jawab sepihak.
    Jurnal berisi tentang catatan reflektif dan kritis tentang fenomena kelas yang berguna untuk mengetahui gejala yang muncul pada saat penerapan model pembelajaran make a match dengan menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata sebagai media pendidikan atau alat peraga, baik tentang kemajuan maupun kemunduran siswa yang dapat digunakan untuk mengadakan perbaikan pada siklus berikutnya.
    Teknik yang digunakan untuk menganalisa data adalah teknik deskriptif analitik:
    1. Data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes diolah dengan persentase. Nilai yang diperoleh siswa dirata-rata untuk menemukan tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris.
    2. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan jurnal, diolah dengan cara mengklasifikasikan berdasar aspek-aspek yang dijadikan fokus analisis.
    Hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif selanjutnya dijadikan sebagai dasar untuk mendeskripsikan keberhasilan penerapan model pembelajaran make a match dalam percakapan Bahasa Inggris dan perubahan tingkah laku yang menyertai.


    HASIL DAN PEMBAHASAN


    Hasil Penelitian Siklus I
    Hasil Tes
    Setelah diadakan tes perbuatan tentang kemampuan percakapan Bahasa Inggris menggunakan model pembelajaran Make a match, diperoleh hasil:







    Tabel 1
    Skor persentaseTingkat Kemampuan Percakapan Bahasa Inggris pada Siklus I

    No Kategori Skor Responden % Keterangan
    1.
    2.
    3. Baik
    Cukup
    Kurang 7,0 – 8,0
    4,0 – 6,9
    0,0 – 3,9 4
    3
    1 50
    37,5
    12,2 Skor rata-rata:
    5,38 (kategori cukup)
    Jumlah 8 100


    Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris siswa dengan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids adalah sebagai berikut: dari 8 siswa yang diteliti diketahui ada 4 siswa (50%) telah mencapai kategori baik, 3 siswa (37,5%) dengan kategori cukup, dan 1 siswa (12,5%) yang termasuk dalam kategori kurang. Dengan menerapkan cara perhitungan seperti yang telah diuraikan pada bagian teknik analisis data maka dapat diperoleh data skor rata-rata tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris sebesar 5,38 atau termasuk dalam kategori cukup.
    Hasil Nontes
    Hasil nontes pada siklus I mencakup hasil yang diperoleh dari observasi, wawancara, dan jurnal.
    Hasil observasi pada siklus I menunjukkan bahwa tingkat kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris dengan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids, suasana kelas nampak hidup dan kondusif, 4 siswa atau 50% responden aktif mengikuti seluruh kegiatan dengan rasa senang tanpa dipaksa maupun dipandu guru, 2 siswa atau 25% responden mau bersikap aktif apabila dirangsang atau dipandu guru untuk melakukan percakapan, kemudian 2 siswa atau 25 % responden masih agak pasif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, tetapi kadang-kadang 2 siswa putra anak tunagrahita atau 25% responden tersebut terekam berbincang-bincang (bergurau) disaat guru menerangkan kepada siswa lain atau pada saat guru membagikan kartu kepada siswa lain dan kadang terekam ada 1 siswa putra anak tunagrahita (12,5%) bersembunyi di bawah meja karena mendapat pasangan siswa putri sehingga harus dirayu dulu.
    Dari hasil wawancara yang ditujukan kepada 8 siswa diperoleh informasi 4 siswa putri atau 50% responden menyatakan bahwa pembelajaran Bahasa Inggris dalam percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids, membuat siswa merasa senang dan mempermudah dalam percakapan karena dibantu dengan benda nyata, kartu gambar dan kartu kata, 2 siswa atau 25% responden pada saat ditanya tentang penggunaan model pembelajaran make a match menjawab senang tetapi sambil tertawa-tawa seperti tidak yakin dengan jawabannya, dan 2 siswa atau 25% responden tidak memberikan jawaban, hanya senyum sambil menunduk .
    Dari data jurnal menunjukkan bahwa pembelajaran Bahasa Inggris dalam percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids, disambut baik oleh 4 siswa atau 50% responden dengan menunjukan reaksi yang positif saat kegiatan pembelajaran tersebut, tetapi 2 siswa lainnya atau 25% responden menunjukkan reaksi positif bila distimulasi guru, dan 2 siswa atau 25% menunjukkan reaksi positif bila distimulasi dan dipandu guru, 4 responden (50%) menunjukkan kemampuan percakapan Bahasa Inggris yang baik, ada 2 siswa (25%) responden menunjukkan kemampuan yang cukup baik dan 2 siswa (25%) responden menunjukan kemampuan kurang baik.
    Hasil Penelitian Siklus II
    Hasil Tes
    Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui kemampuan percakapan Bahasa Inggris siswa : dari 8 siswa yang diteliti ada 6 siswa atau 75% responden termasuk dalam kategori baik dengan memperoleh skor masing-masing sebesar 8, kemudian 1 siswa atau 12,5% responden termasuk dalam kategori cukup dengan mendapatkan skor 6 dan 1 siswa atau 12,5 % responden termasuk dalam kategori kurang dengan memperoleh skor 2. Dengan menerapkan cara perhitungan seperti yang telah diuraikan pada bagian teknik analisis data, diperoleh data skor rata-rata tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris dengan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids sebesar 7,0. Jika skor maksimal 8, maka skor rata-rata siswa sebesar 7,0 tersebut berarti ada pada kategori baik dan apabila dihitung dengan persentase sebesar 87,5 %. Hasil penelitian siklus II dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini :


    Tabel 2
    Skor Persentase
    Tingkat Kemampuan percakapan Bahasa Inggris pada Siklus II

    No Kategori Skor Responden % Keterangan
    1. Baik 7,0 – 8,0 6 75 Skor rata-rata : 7,0
    (Kategori Baik)
    2. Cukup 4,0 – 6,9 1 12,5
    3. Kurang 0,0 – 3,9 1 12,5
    Jumlah 8 100


    Hasil Nontes
    Hasil observasi pada siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran Bahasa Inggris dalam percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids mampu merangsang siswa untuk memiliki tingkat kemampuan yang baik, suasana kelas yang menyenangkan makin hidup dan kondusif, siswa melakukan sendiri semua kegiatan yang merangsang untuk percakapan Bahasa Inggris. Dalam pembelajaran ini siswa lebih aktif mengikuti kegiatan belajar selama proses pembelajaran berlangsung karena merasa sebagai bagian dari kesibukan bersama. Dari hasil observasi diketahui 6 siswa atau 75% responden aktif mengikuti kegiatan, 1 siswa (12,5%) masih harus dimotivasi untuk ikut aktif saat proses pembelajaran sedang 1 siswa lainnya (12,5%) masih harus dipandu guru, kedua siswa yang sering berbincang-bincang saat proses pembelajaran, pada siklus II tidak berbincang-bincang lagi saat kegiatan belajar berlangsung, dan siswa yang pada siklus I malu bila mendapat pasangan lawan jenis, pada siklus II sudah tidak malu-malu lagi meskipun mendapat pasangan lawan jenis. Dengan demikian dari 8 siswa yang diteliti, 6 siswa atau 75% responden pada siklus II ini dapat melakukan percakapan Bahasa Inggris dengan baik, 1 siswa atau 12,5 % responden dapat melakukan percakapan dengan dimotivasi serta 1 siswa atau 12,5% responden dapat melakukan percakapan dengan dipandu guru.
    Hasil wawancara pada siklus II diperoleh informasi dari 8 siswa atau 100% responden menyatakan setuju, lebih mudah dan senang apabila dalam pembelajaran percakapan Bahasa Inggris dengan model make a match menggunakan media visual aids. Siswa yang pada siklus I tidak menjawab pertanyaan pada siklus II mau menjawab pertanyaan.
    Dari data jurnal guru diperoleh gambaran bahwa 8 siswa atau 100% responden yang diteliti tingkah lakunya memberi reaksi positif terhadap pembelajaran Bahasa Inggris dalam percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar maupun kartu kata dengan hasil yang baik.
    Berdasarkan temuan penelitian di atas, diketahui bahwa hasil tes pada penelitian ini difokuskan pada aspek kemampuan percakapan Bahasa Inggris dari kemampuan siswa. Pada siklus I diketahui 4 siswa atau 50% responden mencapai kategori baik, sedangkan 3 siswa lainnya atau 37,5% responden mencapai kategori cukup baik tetapi masih ada 1 siswa atau 12,5% responden yang termasuk kategori kurang baik. Pada siklus II, 6 siswa atau 75% responden telah mencapai kategori baik, ada 1 siswa atau 12,5% responden termasuk dalam kategori cukup baik dan 1 siswa teermasuk kategori kurang baik.
    Skor rata-rata pada siklus I sebesar 5,38 apabila dihitung dengan persentase sebesar 67,25% kemudian pada siklus II naik menjadi 7,0 atau bila dihitung dengan persentase sebesar 87,5%, jadi dari siklus I dibandingkan dengan siklus II ada kenaikan sebesar 1,62 dari 5,38 menjadi 7,0 dan ada peningkatan dalam kategori dari tingkat kemampuan cukup pada siklus I kemudian menjadi tingkat kemampuan baik pada siklus II. Dengan hitungan persentase dari siklus I ke siklus II ada kenaikan sebesar 20,25% dari 67,25% menjadi 87,5%.
    Secara klasikal tingkat kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris dengan menggunakan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata meningkat dari siklus I ke siklus II, ada kenaikan sebesar 20,25% yaitu dari 67,25% menjadi 87,5%.
    Dari hasil observasi, wawancara dan jurnal diketahui bahwa pada siklus I, ada 4 siswa atau 50% responden aktif pada saat proses pembelajaran, senang melakukan kegiatan tanpa dipandu guru, 2 siswa atau 25% responden mau aktif apabila distimulasi oleh guru dan 2 siswa lainnya atau 50% responden agak pasif sehingga harus distimulasi dan dipandu guru, dan pada siklus II diketahui ada 6 siswa atau 75% aktif tanpa dipandu guru, ada 1 siswa atau 12,5% responden aktif tetapi harus dimotivasi/distimulasi oleh guru dan 1 siswa lagi atau 12,5% responden mau aktif bila dimotivasi dan dipandu oleh guru.
    Pada siklus I semua siswa harus berdiri kemudian berlari untuk mengambil benda nyata yang disediakan guru lalu mencari pasangan untuk praktek percakapan, setelah itu siswa harus berlari mengambil kartu, baik kartu soal maupun kartu jawaban kemudian harus mencari pasangannya sesuai kartu gambar yang dipegang lalu harus berlari mencari benda nyata yang telah disiapkan guru sesuai kartu masing-masing. Setelah setiap pasangan memegang benda nyata, kartu gambar dan kartu kata maka saatnya mereka bergiliran untuk praktek percakapan. Pada siklus I masih ada 2 pasangan yang harus diingatkan bahwa sekarang sampai pada gilirannya, kemudian ada 1 pasangan yang masih harus dipandu. Hal tersebut pada siklus I diulang lagi pada siklus II, dan tinggal 1 pasangan yang harus dipandu untuk melakukan percakapan Bahasa Inggris. 2 siswa atau 25% responden yang pada siklus I diketahui sering berbincang-bincang (mengobrol) pada saat guru menerangkan kepada siswa lain, hal ini tidak tampak lagi pada siklus II dan 1 siswa yang pada siklus I malu (bersembunyi) dibawah meja bila mendapat pasangan lawan jenis sekarang tidak malu lagi bila mendapat pasangan lawan jenis.
    Dari hasil wawancara pada siklus I, dengan model make a match ada 4 siswa atau 50% menyatakan senang, enak/mempermudah percakapan Bahasa Inggris, 2 siswa atau 25% responden menyatakan senang sambil tertawa dan 2 siswa (25%) responden tidak menjawab ketika ditanya hanya tersenyum sambil menunduk dan hal tersebut tidak terjadi lagi pada siklus II karena hasil wawancara siklus II, 8 siswa atau 100% responden menjawab senang dan lebih mudah serta lebih enak belajar Bahasa Inggris percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids bahkan sebagian siswa minta diulang lagi karena pembelajaran tersebut sangat menyenangkan.


    Tabel 3
    Data kemampuan siswa pada siklus I dan II

    No Nama Siswa Kemampuan
    Siklus I Siklus II
    1. I P K 8 8
    2. A R A 5 8
    3. D E 5 8
    4. R A U N 4 6
    5. H S 7 8
    6. N 7 8
    7. I 7 8
    8. I T 1 2
    Jumah 43 56
    Rata-rata 5,38 7,0
    Kategori Cukup Baik


    Data jurnal menunjukkan 4 siswa atau 50% responden memberikan reaksi yang positif, 2 siswa atau 25% responden mau aktif bila distimulasi guru dan 2 siswa atau 25% responden harus distimulasi dan dipandu guru dahulu baru mau memberikan reaksi yang positif pada siklus I, hal tersebut tidak terjadi lagi pada siklus II karena pada siklus II, 8 siswa atau 100% responden bertingkah laku memberikan reaksi yang positif.



    KESIMPULAN


    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids berupa benda nyata, kartu gambar maupun kartu kata disamping dapat meningkatkan kemampuan percakapan Bahasa Inggris siswa kelas VII SMPLB B dan C di SLB B-C Hamong Putro Jombor Bendosari Sukoharjo tahun pelajaran 2008/2009, juga mampu membuat siswa aktif, merasa senang saat proses pembelajaran, serta dapat meningkatkan hasil belajar, yang dibuktikan dengan adanya peningkatan skor yang diperoleh secara individual.


    DAFTAR PUSTAKA


    Bobby de Porter, dkk. (2000). Quantum Teaching. Bandung: Kaifa
    Depdiknas. (2006(.Standar Isi. Jakarta: Depdiknas
    Glenn Doman, Janet Doman. (2006). .How To Teach Your Baby To Read (Bagaimana Mengajar Bayi Anda Membaca Sambil Bermain). Jakarta: Tigaraksa Satria
    Isbani, R. dan Sardjono. (1989). Cipta Karya Audio Visual Aids. Surakarta: Uniersitas Sebelas Maret Press.
    Soedjono AG. (1956). Pendahuluan didaktik dan metodik Umum. Jakarta: Harapan Masa
    Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara
    LPMP. (2008). Model-Model Pembelajar¬an. Semarang: LPMP Jawa Tengah.

    Label: