Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Jumat, 27 Januari 2012

    Manajemen Emosi Negatif pada Anak Tunarungu yang Diasramakan

    Marlina
    Universitas Negeri Padang

    ABSTRAK

    Penelitian ini dilakukan pada anak-anak tunarungu yang tinggal di asrama dan mengalami kesulitan dalam mengelola emosi negatif mereka. Tujuannya untuk membantu mereka dalam mengelola emosi negatifnya melalui penggunaan Buku “Jendela Hatiku”. Metode yang digunakan adalah mentode penelitian tindakan (action research) yang terdiri dari dua siklus. Masing-masing siklus meliputi empat komponen, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, refleksi dan evaluasi. Subyek penelitian terdiri dari empat siswa tunarungu SLB B Aur Kuning Payakumbuh yang tinggal di asrama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi negatif pada subyek penelitian mengalami penurunan, subyek lebih mampu memanajemen emosi negatif yang dirasakan melalui mekanisme tahapan manajemen emosi negatif. Artinya bahwa penggunaan buku “Jendela Hatiku” dapat mengurangi emosi negatif pada anak tunarungu yang diasramakan di SLB B Aur Kuning Payakumbuh.
    Kata kunci: tunarungu, manajemen emosi, emosi negatif, asrama.


    PENDAHULUAN


    Sudah menjadi fitrah manusia untuk memiliki rasa atau perasaan baik yang bersifat positif (seperti cinta kasih, senang, bahagia, enjoy, dan sebagainya) maupun negatif (seperti marah, benci, iri hati, cemburu, sedih, dan sebagainya) yang harus diekspresikan termasuk juga anak tunarungu. Ketika seseorang merasakan sesuatu emosi, ia berusaha untuk mengekspresikannya dengan benar dan tepat. Artinya, ia bisa mengekspresikan emosi yang ia rasakan, orang lain memahami emosi yang dirasakannya dan emosi yang diekspresikan tidak berdampak bagi dirinya maupun bagi orang lain.
    Ketika seseorang merasakan dan mengekspresikan emosi positif, individu yang bersangkutan cenderung mampu mengelola emosi yang dirasakan tersebut dengan baik, bahkan akan mempengaruhi dinamika kehidupannya secara positif. Hal tersebut menjadi berbeda manakala individu merasakan dan mengekspresikan negatif, individu tersebut cenderung merasakan emosi yang dirasakan sebagai kejadian yang dirasa “menekan” sehingga mekanisme keseimbangan dirinya terganggu, orang tersebut mengalami stres (Familia, 2002). Setiap kondisi, betapapun ringannya seperti harus tinggal di asrama dirasakan oleh seseorang sebagai suatu gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini tidak disambut baik, apalagi jika seseorang anak harus dikondisikan tinggal di asrama sekolah yang jauh dari orangtua, dengan demikian emosi negatif akan muncul.
    Pengalaman menunjukkan bahwa anak-anak dari segala usia yang harus tinggal di asrama mengalami stres. Namun sejalan dengan perkembangan usia, ada kecenderungan terjadi perubahan distres (Sarafino, 1998). Anak, sebagai salah satu objek yang tidak lepas dari tuntutan dan stimulus sekitarnya, merupakan dasar bagi perkembangan anak terutama pola perkembangan emosinya. Berbagai macam reaksi sosial sangat mempengaruhi emosi-emosi anak. Sejumlah studi tentang emosi menunjukkan bahwa perkembangan emosi bergantung sekaligus pada faktor pematangan dan belajar, dan tidak semata-mata bergantung pada salah satunya.
    Jika seorang anak sering mengalami emosi negatif apalagi anak-anak yang tinggal jauh dari orangtua, akan mempengaruhi pola perkembangan kepribadian. Hal ini terlihat dari beberapa gejala antara lain: sering murung di dalam kelas, kurang bergairah dalam menjalani hidup dan kehidupan, cenderung berprasangka negatif dengan teman sebaya dan lingkungan, menyendiri, mudah tersinggung, dan sebagainya (Prawitasari, 2000). Gejala-gejala tersebut semuanya akan berdampak terhadap pencitraan akademiknya, seperti hasil belajar rendah, dan dropout dari sekolah.
    Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di asrama anak-anak tunarungu SLB B Aur Kuning Payakumbuh, menunjukkan bahwa dari beberapa anak yang diobservasi dan diwawancarai ada beberapa sikap dan kondisi emosi negatif yang terlihat:
    a. Bosan. Bosan muncul karena mereka tidak dapat melakukan banyak aktivitas sebagaimana yang mereka lakukan di lingkungan keluarga. Misalnya mereka bisa main di sungai, berenang, bermain ke rumah teman yang bukan anak berkebutuhan khusus, dan sebagainya.
    b. Kecewa dan sedih, manakala melihat beberapa teman seasrama sering dikunjungi orangtua dan kerabat, anak merasa kesepian dan merasa disingkirkan dari keluarga.
    c. Kesepian, muncul karena mereka dikumpulkan dan dikondisikan dengan anak-anak yang memiliki kondisi sama-sama mengalami kelainan. Mereka merasa dikondisikan dalam lingkungan yang sama, tidak ada teman-teman lain yang menjenguknya selain teman di asrama.
    d. Perasaan tidak berdaya, muncul karena ketidakberdayaan mereka melakukan berbagai aktivitas selain rutinitas asrama yang menurut mereka sangat monoton dan membosankan.
    e. Perasaan cemas dan takut, muncul ketika mereka diharuskan melakukan aktivitas yang kurang mereka sukai seperti: membersihkan kamar mandi, harus tidur pada jam tertentu, dan sebagainya.
    f. Perasaan iri hati, karena harus tinggal di asrama yang membuat mereka jauh dari kerabat dan keluarga lainnya.
    Ada beberapa upaya yang dilakukan sekolah dan pembina asrama untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan memberikan ketenangan, penjelasan dan tindakan menghibur lainnya. Namun, upaya tersebut kurang menunjukkan hasil yang maksimal. Hal ini terlihat dari cara anak mengekspresikan emosi negatifnya yang kurang tepat (seperti menjerit, menangis, mogok belajar, dan sebagainya) sehingga mengganggu interaksi anak dengan teman sebayanya, bahkan mengganggu proses pembelajaran di kelas.
    Apa yang terjadi pada anak-anak tunarungu tersebut dikuatkan oleh Sarafino (1998) bahwa kondisi ketika seseorang diharuskan berada dalam lingkungan tertentu yang monoton sering menimbulkan stres dan kesedihan yang cukup besar. Oleh karena itu, menurut Sarafino yang berada dalam kondisi tersebut harus melakukan coping (keterampilan menghadapi suatu masalah) terhadap emosinya dan mereka cenderung melakukan penyesuaian secara bertahap, yang disebut juga dengan emotion-focused coping. Anak akan berusaha mengelola emosi-emosi mereka misalnya dengan melakukan penolakan terhadap fakta-fakta yang tidak menyenangkan, menunjukkan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk menarik perhatian atau mencari dukungan sosial. Sedangkan yang tidak kuat mengelola emosi negatifnya akan memperlihatkan tanda-tanda sakit kepala dan sakit perut, kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, mudah kesal, sikap agresif, otot tegang, kecemasan dan depresi (Armstrong, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan individual di dalam melakukan coping ketika mereka sedang mengalami emosi negatif. Dengan demikian, maka perlu diberikan cara-cara menangani dan mengelola emosi negatif pada anak-anak yang mengalami kesulitan mengelola emosi negatif tersebut.
    Manajemen emosi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan, mengekspresikan, dan mengurangi emosi yang muncul karena persepsi individu terhadap kondisinya. Goleman (1995) menyatakan bahwa mengelola emosi disebut juga self regulating, yaitu kemampuan mengelola emosi berkaitan dengan cara seseorang mengakomodasi emosi yang dirasakannya. Manajemen emosi merupakan salah satu pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelektual sebagai salah satu tahapan dalam mencapai kecerdasan emosi (Prawitasari, 2000). Lebih lanjut Prawitasari mengemukakan 4 tahapan keterampilan emosi menuju kecerdasan emosi dan masing-masing tahapan terdiri dari 4 hal, yaitu:
    1. Persepsi, penilaian, dan ekspresi emosi. Tahap ini membutuhkan 4 kemampuan, yaitu: a)mengenal emosi secara fisik, rasa, dan pikir, b)mengenal emosi orang lain, desain, karya seni melalui bahasa, bunyi, penampilan dan perilaku, c) mengungkapkan emosi secara tepat dan mengungkapkan kebutuhan sehubungan dengan rasa-rasa tersebut,dan d)membedakan ungkapan rasa antara tepat dan tak tepat, jujur dan tak jujur.
    2. Fasilitas emosi untuk berpikir, terdiri dari: a)emosi memberikan prioritas pada pikiran dengan mengarahkan perhatian pada informasi penting, b)emosi cukup gamblang dan tersedia sehingga emosi tersebut dapat digunakan sebagai bantuan untuk menilai dan ingatan yang berhubungan dengan rasa, c) perubahan emosi mengubah perspektif individu dari optimis menjadi pesimis, mendorong untuk mempertimbangkan berbagai pandangan, d)keadaan emosi mendorong adanya pembedaan khusus dalam pemecahan masalah, misalnya ketika kebahagiaan memberikan fasilitas untuk penalaran induktif dan kreativitas.
    3. Pengertian dan penguraian emosi, yakni kemampuan untuk: a)memberikan label emosi dan mengenal hubungan antara berbagai kata dan emosi itu sendiri, misalnya hubungan antara menyukai dan mencintai, b)mengartikan bahwa emosi berkaitan dengan hubungan, misalnya kesedihan sering menyertai kehilangan, c)mengerti rasa yang kompleks, rasa cinta bersamaan dengan benci, seperti takjub adalah kombinasi takut dan terkejut, d)mengenal adanya perpindahan di antara emosi, seperti adanya perpindahan dari marah ke puas, atau marah ke malu.
    4. Pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelektual, terdiri dari kemampuan untuk:a) tetap terbuka terhadap perasaan baik yang menyenangkan maupun tidak, b)melibatkan diri atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi dengan mendasarkan pada pertimbangan adanya informasi atau kegunaan, c)memantau emosi secara reflektif dalam hubungan dengan diri sendiri dan roang lain, misalnya mengenai betapa jelas, khusus, berpengaruh, atau bernalar semuanya itu, dan d)mengelola emosi dalam diri sendiri dan orang lain dengan memadyakan emosi negatif dan memperbesar yang menyenagkan, tanpa menekan atau melebih-lebihkan informasi yang menyertainya.
    Dengan demikian, manajemen emosi negatif diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan, mengekspresikan, dan mengurangi emosi negatif yang muncul karena persepsi negatif individu terhadap kondisinya.
    Para ahli psikologi pendidikan menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan anak dan pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian. Armstrong (2000) misalnya menyatakan anak-anak dalam periode ini perlu mengalami berbagai perasaan, seperti kebahagiaan dan kesedihan, harapan dan ketakutan, cemburu dan bela rasa, supaya mereka memiliki dasar yang kuat untuk kehidupan emosional selanjutnya. Ini berarti bahwa ungkapan jujur emosi anak dalam berbagai bentuk harus diakui dan diberi peluang untuk menyalurkan perasaan yang sebenarnya dalam beberapa cara misalnya melalui seni.
    Armstrong menambahkan ada beberapa cara untuk melakukan manajemen emosi negatif pada anak, yaitu : a) melakukan kegiatan pemusatan mengurangi emosi negatif, b) mengubah perasaan melalui seni, c) memberikan keterampilan membantu diri sendiri untuk memerangi emosi negatif, d) mencari bantuan pakar melalui konseling profesional, e) menggunakan menulis dan menggambar untuk melepaskan emosi, f) membaca dengan perasaan, dan g) melibatkan dalam perencanaan yang berhubungan dengan dirinya.
    Manajemen emosi negatif melalui seni yang diberikan dapat melatih kepekaan rasa karena seni adalah suatu aktivitas yang banyak melibatkan rasa atau emosi. Seni menyalurkan perasaan-perasaan yang mengganggu ke jalan yang membangun, membantu mengurangi tingkat stres secara keseluruhan. Pengungkapan artistik membuka hati bagi pembelajaran baru, membuat anak bisa memperoleh kendali diri atas perasaan mereka dan membiarkan mereka mengubah emosi-emosi kuat ke dalam energi baru dan kreatif (Armstrong, 2000). Selanjutnya kegiatan menulis mampu mengurangi pengekangan psikologis seperti pikiran dan perasaan yang disebabkan karena peristiwa yang bersifat traumatis. Assagioli (Armstrong, 2000) menegaskan menulis merupakan bentuk katarsis yang hebat. Dalam menulis anak diberi toleransi dan kebebasan dalam mengungkapkan baik dalam kata-kata maupun dalam bentuk akhir tulisannya.
    Salah satu aktivitas yang melibatkan menulis dan menggambar adalah melalui penggunaan buku “Jendela Hatiku”. Buku ini adalah kreasi peneliti, yakni merupakan media tulis dan gambar yang terdiri dari kertas warna-warni untuk menceritakan pengalaman atau peristiwa yang dialami serta emosi yang dirasakan. Campbell (1996) menyatakan anak-anak dapat mengekspresikan identitas diri melalui tulisan yang memungkinkan adanya kesadaran diri, penerimaan diri, aktualisasi diri da pembukaan diri. Sedangkan menurut Gross dan Hayne (1998) anak-anak dapat menceritakan pengalaman emosional mereka melalui gambar yaitu dengan memberi kesempatan kepada anak untuk menuangkan emosi-emosi mereka dengan cara menggambar.

    Buku “Jendela Hatiku” terdiri dari:
    a. Lembar Depan, berisi identitas dan petunjuk pengisian yang berupa bimbingan cara mengisi buku “Jendela Hatiku”.
    b. Lembar Harian, terdiri dari : a)kertas warna warni, yaitu biru, kuning, merah muda dan hijau, yang masing-masing terdiri dari 4 lembar kertas polos dan bergaris,b)halaman polos disebelah kiri dan digunakan untuk mengambar, serta halaman bergaris disebelah kanan yang digunakan untuk menulis ungkapan ekspresi emosi.
    c. Lembar Evaluasi. Lembar evaluasi diperuntukkan bagi anak dan lebih merupakan lembar komunikasi antara anak dan orangtua. Melalui lembar evaluasi ini anak akan diberikan feedback (umpan balik) dan komentar sebagai bentuk kepedulian terhadap apa yang dirasakan oleh anak.
    Berangkat dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a) emosi-emosi negatif yang muncul pada anak-anak tunarungu yang diasramakan, b) faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya emosi negatif pada anak-anak tunarungu yang diasramakan, dan c) proses manajemen emosi pada anak-anak tunarungu yang diasramakan melalui penggunaan buku “Jendela Hatiku”.


    METODE

    Metode penelitian yang digunakan adalah action research berkolaborasi dengan pembina asrama. Peneliti berperan sebagai pemberi tindakan, sedangkan kolaborator sebagai pengamat aktif. Penelitian ini dilakukan di SLB B Aur Kuning Payakumbuh tahun 2007. Subyek penelitian empat orang anak tunarungu dengan kriteria: a) mengalami gangguan pendengaran dan atau gangguan komunikasi dan atau gangguan kesulitan belajar dengan kecerdasan rata-rata yang berusia antara 9-12 tahun. Dengan asumsi bahwa anak pada usia ini sedang berada pada tahap perkembangan industry versus inferiority, b) mendapat izin dari pembina asrama untuk dijadikan subyek penelitian, c) memungkinkan melakukan kegiatan menulis dan atau menggambar, dan d) tinggal di asrama anak-anak tunarungu SLB B Aur Kuning Payakumbuh.
    Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur serta skala deteksi emosi dan observasi. Wawancara terstruktur diberikan sebelum dan sesudah intervensi kepada subyek, berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan emosi-emosi yang dirasakan selama tinggal di asrama dengan menyertakan simbol-simbol sebagai simbol berbagai macam emosi yang dirasakan. Pernyataan dibacakan peneliti, kemudian subyek diminta menunjuk gambar simbol emosi sesuai dengan yang dirasakannya saat itu. Jawaban subyek ditanyakan lagi secara mendalam dan dicatat. Wawancara juga dilakukan dengan pembimbing asrama, guru kelas, orangtua dan beberapa pihak lain yang terkait.
    Sedangkan skala deteksi emosi dan observasi digunakan untuk mengungkap bagaimana respon subyek secara fisik ketika diberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perasaannya sebelum dan sesudah tindakan. Respon subyek secara fisik ini kemudian diskor dan akan diartikan dengan kemampuan anak yang diasramakan dalam mengelola emosinya. Tekniknya dengan mengamati beberapa aspek berikut:a) ekspresi wajah, terdiri dari kerutan di dahi, kerutan diantara mata, kerutan di sekitar mata, di sekitar hidung, dan tarikan bibir, b) gerakan tangan dan tubuh, terdiri dari gerakan jari-jari tangan, dan rentang lengan, dan c) nada suara.
    Sedangkan buku “Jendela Hatiku” merupakan alat intervensi dengan menulis dan menggambar. Subyek secara kondisonal sesuai waktu diminta kesediaannya mengungkapkan pengala¬mannya dan perasaannya selama tinggal di asrama. Setelah subyek selesai berekspresi melalui tulisan dan gambar, peneliti membaca apa yang ditulis dan digambar subyek dan memberikan umpan balik. Tujuannya memotivasi subyek untuk selalu optimis mengungkapkan perasaannya dengan bebas.


    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Deskripsi Data Emosi Negatif Subyek sebelum Menulis dan Menggambar
    Subyek Dd.
    Merasa sedih ketika orang tua jarang mengunjungi ke asrama, dimarahi pembina asrama, tidak diizinkan bermain oleh pembina asrama. Merasa kecewa ketika diperlakukan tidak adil oleh orangtua jika dibandingkan perlakuan terhadap kedua saudaranya. Merasa marah ketika orangtua sering memukul jika makan sambil menonton televisi (jika berada di rumah orangtua). Merasa iri hati ketika melihat teman seasrama sering dikunjungi oleh orang tuanya. Jika emosi negatif dirasakan sering mengalami kejang, kaku, dan berkeringat, menangis, bahkan lari ke hutan dekat asrama, namun lama kelamaan kembali ke asrama karena takut dimarahi pembina asrama.
    Subyek Nk.
    Merasa sedih ketika uang habis, dan disuruh pinjam uang oleh pembina asrama. Kecewa ketika ada teman sekolah yang mendapatkan piala atau disuruh mewakili sekolah ke luar kota. Marah ketika uang habis, orangtua telat datang ke asrama. Iri dengki ketika melihat teman berbicara-bicara tanpa mengajaknya dan ketika teman mendapatkan hadiah dari sekolah.
    Subyek Vn.
    Merasa sedih dan marah ketika uang habis, orangtua telat datang ke asrama. Kecewa ketika menghadapi adik asrama suka sekali mengompol, dan diharuskan selalu mencuci bekas ompol. Marah ketika menghadapi teman seasrama mengatakan ia jelek.
    Subyek Rd.
    Merasa sedih ketika disuruh pembina asrama tidur, sementara ia masih ingin bermain. Kecewa ketika subyek bermain dengan adik-adik asrama, jika ada adik asrama yang menangis, selalu ia yang dimarahi. Marah ketika pembina asrama selalu membela adik asrama dan mengatakan ke subyek: ”kasihan deh lu”. Iri hati ketika melihat teman seasrama diberi hadiah.
    Data tersebut didiskusikan dengan kolaborator, kemudian direncanakan pelaksanaan tindakan menulis dan menggambar dengan menggunakan buku “Jendela Hatiku”.
    Identifikasi Emosi Negatif Anak Tunarungu yang di Asramakan
    Identifikasi emosi negatif yang dirasakan diperoleh dari hasil gambar dan tulisan yang dibuat subyek. Deskripsi hasil gambar dan tulisan diperoleh setelah dikonfirmasi kepada subyek. Ketika subyek ditanya tentang emosi negatif yang dirasakan, beberapa subyek memberikan respon berbagai reaksi emosi negatif. Hal ini terlihat dari temuan berikut:
    Sedih
    Emosi dasar yang dirasakan oleh anak tunarungu yang diasramakan adalah sedih. Sedih karena berpisah dengan orangtua, saudara dan anggota keluarga dan dapat menyebabkan stres. Anak-anak yang terbiasa melakukan banyak aktivitas di rumah dan lingkungan keluarganya akan cenderung mengalami stres jika harus dikondisikan tinggal di asrama. Hal yang paling rentan menjadi sumber stres pada anak-anak yang diasramakan adalah keterpisahan dari orangtua mereka (Sarafino, 1998).
    Emosi sedih dirasakan oleh semua subyek yakni jika orangtua jarang datang ke asrama dan melihat temannya sering dikunjungi orangtuanya. Meskipun semua subyek memberikan respon emosi sedih, namun ada perbedaan ekspresi emosi sedih yang dirasakan oleh masing-masing subyek. Satu subyek saat sedih diekspresikan dengan lari jauh ke halaman belakang asrama. Ada subyek lain dengan berdiam diri di kamar tanpa berkomunikasi sekalipun dengan anak lain. Bahkan ada yang mengekpresikan dengan menangis di kamar.
    Marah
    Emosi marah biasanya muncul ketika terjadi konflik, tidak terpenuhinya keinginan dan mengalami gangguan. Ekspresi marah yang munculpun akan bersifat meledak-ledak (tantrums) dalam bentuk menangis, menendang, memukul dan berteriak-teriak. Respon emosi marah muncul hanya pada beberapa subyek.
    Selama diasrama subyek dituntut untuk mandiri, tinggal jauh dari keluarga. Kondisi ini menyebabkan anak merasa dijauhkan dari kebiasaan dan lingkungan keluarganya. Emosi marah muncul ketika subyek jarang dikunjungi atau tidak dikunjungi sama sekali oleh orangtua. Emosi marah juga timbul ketika subyek pulang ke rumah dan orangtua melarang bermain bersama teman-teman di rumah.
    Irihati
    Emosi irihati muncul ketika subyek sering melihat teman seasramanya dikunjungi orangtuanya, sementara subyek jarang dikunjungi orangtua. Berbagai ekspresi muncul, ada subyek yang menghindar dan pergi ke kolam pemancingan untuk menenangkan atau menghibur diri. Ada subyek yang menyendiri dan mengurung diri di kamarnya.


    Tabel 1
    Hasil Identifikasi Emosi Negatif Subyek

    No Identifikasi Emosi Negatif Subyek
    Dd Nk Rd Vn
    1 Sedih √ √ √ √
    2 Marah √ √
    3 Irihati √ √ √



    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Emosi Negatif
    Anak Tunarungu yang Diasramakan
    Faktor yang mempengaruhi timbulnya emosi negatif pada anak tunarungu yang diasramakan terdiri dari tiga emosi, yaitu sedih, irihati dan marah.


    Tabel 2
    Faktor Penyebab Emosi Sedih Subyek

    No Faktor-faktor Penyebab Emosi Sedih Subyek
    Dd Nk Rd Vn
    1 Terpisah dari orangtua, saudara dan lingkungan keluarga √ √ √ √
    2 Jarang dikunjungi oleh orangtua atau sanak saudara √ √
    3 Jarang dikirimi paket atau terlambat dikirimi uang √ √
    4 Sering melihat penghuni asrama lainnya diperhatikan dan dikunjungi oleh orangtuanya √ √ √ √



    Sedih
    Penyebab emosi negatif sedih yang paling banyak dialami subyek adalah:a) terpisah dari orangtua, saudara dan lingkungan keluarga,b) sering melihat penghuni asrama lainnya diperhatikan dan dikunjungi oleh orangtuanya. Namun untuk subyek Rd dan Vn sudah tidak timbul lagi gejala emosi negatif sedih ketika jarang dikunjungi oleh orangtua dan berbeda dengan Dd dan Vn saja yang tidak sedih ketika tidak mendapat kiriman paket atau uang oleh orangtua masing-masing. Tingkat gejala sedih timbul setiap subyek berbeda karena tingkat kemampuan manajemen emosi mereka juga berbeda.


    Tabel 3
    Faktor Penyebab Emosi Irihati Subyek

    No Faktor-faktor Penyebab Emosi Irihati Subyek
    Dd Nk Rd Vn
    1 Kawannya sering dikunjungi oleh orangtua atau sanak saudara, sementara ia tidak pernah dikunjungi. √ √
    2 Jarang dikirimi paket atau terlambat dikirimi uang, sementara temannya selalu mendapat kiriman paket atau uang. √ √


    Irihati
    Emosi irihati yang paling stabil dimiliki oleh subyek Vn karena dari kedua penyebab ia tidak mengalami emosi negatif. Sedang yang emosinya tidak stabil adalah Niki karena dari kedua faktor penyebab timbulnya emosi irihati memberikan respon keduanya. Sementara emosi irihati Subyek Dd dan Rd timbul oleh faktor penyebab yang berbeda-beda. Dd irihati ketika kawannya sering dikunjungi oleh keluarga mereka masing-masing, sementara Rd lebih ekspresif emosi irihati ketika temannya sering memperoleh kiriman paket atau uang.


    Tabel 4
    Hasil Identifikasi Faktor Penyebab Emosi Marah

    No Faktor-faktor Penyebab Emosi Marah Subyek
    Dd Nk Rd Vn
    1 Marah jika dilarang orang tua menonton TV keseharian di rumah √ √ √
    2 Marah jika dilarang bermain dengan teman sebaya ketika pulang ke rumah √ √


    Marah
    Subyek yang memiliki emosi marah paling sering adalah Vn, sedang yang paling rendah adalah Dd. Penyebab timbulnya emosi negatif marah subyek adalah kekesalan kepada orang tua yang jarang mengunjungi atau memberi kasih sayang kepadanya.
    Manajemen Emosi Negatif Melalui Buku “Jendela Hatiku” pada Anak Tunarungu yang Diasramakan
    Emosi negatif yang dirasakan oleh anak tunarungu yang diasramakan tidak selalu diekspresikan dalam bentuk yang sama, walaupun disebabkan oleh situasi dan faktor yang sama. Untuk mengendalikan kondisi emosi sedih, marah dan irihati, subyek melakukan respon emosional sebagai salah satu bentuk coping. Kemampuan coping emosional inilah yang disebut dengan manajemen emosi. Kemampuan manajemen emosi selalu berbeda-beda dalam setiap kasus, namun dalam penelitian ini ditemukan tahapan manajemen emosi yang dilakukan oleh anak tunarungu yang diasramakan sebagai bentuk coping emosional.
    Mengekpresikan Emosi Negatif
    Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan subyek mengekpresikan emosi negatif muncul secara spontan. Ekspresi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman mereka terhadap peristiwa yang mencetuskan munculnya emosi. Sedih jika melihat temannya sering dikunjungi orangtuanya, takut jika dimarahi pembina asrama. Emosi yang dirasakan juga diekspresikan dalam bentuk non verbal. Misalnya, murung, suka menyendiri dan berdiam diri di kamar, raut wajah kuyu, suka menyendiri ke kolam pemancingan ikan, dan sebagainya.
    Setelah diberikan buku “Jendela Hatiku” subyek mengalami peningkatan dalam mengelola emosi negatifnya, subyek mengekpresikan emosi negatifnya dalam bentuk memadyakan emosi yang dirasakan, sehingga ketika timbul emosi negatif subyek sudah terasa tenang. Misalnya, jika subyek sedih dan kecewa orangtua tidak datang, ia tidak lagi lari dan menenangkan diri di kolam. Ia cukup masuk ke dalam kamar dan kemudian asyik mencoret-coret serta membuat sketsa apa saja yang disukainya.
    Memikirkan Peristiwa-peristiwa secara Mendalam
    Kesedihan yang dialami subyek karena jauh dari orangtua, saudara dan teman-teman sepermainannya muncul ketika subyek menerima stimulus kesedihan seperti temannya sering dikunjungi orangtua, dikirimi hadiah dan dikunjungi keluarga. Stimulus tersebut menyebabkan pemikiran yang mendalam pada subyek. Berbagai pertanyaan timbul seperti: ”Kenapa tidak dikunjungi orangtua? Kemana orang tuanya? Dan kenapa tidak ada kiriman sesuatu? Hal ini mengakibatkan berbagai ekspresi emosi negatif seperti: kejang dan kaku pada jari-jari, menyendiri, menangis dan lari untuk melepaskan kepenatan pikirannya. Seperti yang peristiwa yang dirasakan oleh subyek dalam mengekpresikan kesedian, kemarahan dan irihati, membutuhkan dukungan dan perhatian dari orang lain.
    Langkah memikirkan secara mendalam peristiwa-peristiwa ini dapat menimbulkan stres yang dalam sehingga membutuhkan intervensi dari orang lain. Bentuk intervensi biasanya dilakukan oleh para pembina asrama dengan memberi berbagai penjelasan, arahan dan dorongan psikis kepada anak-anak yang muncul emosi negatifnya.
    Melibatkan atau Menarik Diri secara Reflektif dari Suatu Emosi
    Kondisi emosi sebagai respon dari stimulus dan pembentukan suasana baru yang jauh atau terpisah dari orangtua, saudara dan keluarga menyebabkan subyek menarik diri diri secara reflektif dari suatu emosi. Subyek cenderung menarik diri dan melibatkan diri dalam berbagai aktivitas seperti bermain, memancing, berinteraksi dengan teman, pembina maupun berbaur dengan teman-temannya.
    Penarikan emosi secara reflektif juga dibantu oleh pembina seperti yang dialami salah satu subyek, ketika ada temannya dikunjungi orang tuanya, ia lari menjauh ke belakang kebun asrama. Pembina asrama mencari dan memanggilnya, dihibur, diberi pengertian dan diajak berbaur dengan orangtua teman yang datang. Setelah diberikan buku “Jendela Hatiku” subyek sudah jarang lari dan menghindar jika ada orangtua temannya yang datang, tetapi mencoba mengalihkan pada sketsa gambar atau berbaur dengan temannya yang lain.
    Memadyakan Ekspresi Emosi Negatif dengan Memperbesar Emosi Positif
    Secara sosial keadaan terpisah dari orangtua, saudara, teman-teman sepermainan, dan lingkungan keluarga membuat subyek merasa kesepian, bosan dan merasa kehilangan kasih sayang orangtua dan keluarga. Kondisi tersebut memunculkan emosi-emosi negatif sehingga membutuhkan intervensi psikologis agar dapat mengelola respon emosinya. Adanya media untuk katarsis mental berupa kegiatan menulis dan menggambar membuat anak lebih mudah mengekspresikan apa yang dirasakan sehingga anak akan merasakan suatu kelegaan atau perasaan tanpa beban.
    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen emosi negatif melalui buku “Jendela Hatiku” melibatkan proses ekstrinsik dan intrinsik. Proses ekstrinsik dan intrinsik ini bertanggungjawab dalam pembelajaran untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi-reaksi emosi (Prawitasari, 1998). Pada keempat kasus di atas reaksi emosi negatif yang muncul diekspresikan secara spontan.
    Ekspresi emosi negatif secara spontan dalam tulisan dan gambar yang dibuat merupakan suatu proses intrinsik yang melibatkan kognitif, afektif dan fisik. Subyek yang merespon emosi sedih yang disebabkan oleh pengalaman-pengalamannya diolah baik secara pikir, rasa maupun fisik. Hal ini memunculkan perubahan reaksi emosi negatif yang pernah dialami oleh subyek. Reaksi ini melibatkan strategi untuk mempertahankan, meningkatkan, mengontrol, dan atau menghambat emosi-emosi dalam usaha untuk mencapai tujuan (Goleman, 1995).
    Secara umum berdasarkan temuan dalam penelitian ini terdapat dua strategi dalam mengontrol emosi negatif yaitu surface acting dan deep acting. Deep acting merupakan usaha pencapaian tujuan secara spontan, manajemen emosi secara strategis dan merasakan perasaan yang diinginkan secara spontan. Planalp (1999) menyatakan bahwa strategi manajemen emosi dapat digunakan untuk memanajemen emosi dalam diri sendiri, emosi orang lain, atau keduanya. Strategi deep acting berdasarkan temuan penelitian ini masih pada taraf manajemen emosi untuk diri sendiri. Manajemen emosi ini melalui empat tahap, yaitu mengekspresikan emosi, memikirkan peristiwa-peristiwa secara mendalam, melibatkan atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi, dan memadyakan ekspresi emosi negatif dengan memperbesar ekspresi emosi positif.
    Secara khas, seseorang dapat menggunakan beberapa strategi tersebut secara simultan, namun strategi tersebut bekerja dengan cara yang berbeda. Strategi manajemen emosi tidak berhenti setelah dilakukan, namun ia merupakan bagian yang menyeluruh dari proses emosi yang lengkap dan dibangun dari komponen lain seperti objek, nilai-nilai, dan kecenderungan perilaku atau ekspresi. Manajemen emosi dapat dilakukan empat tahap yaitu manajemen peristiwa-peristiwa yang muncul, manajemen pertimbangan akan nilai-nilai, manajemen ekspresi dan impresi, serta strategi sosial dan antisosial (Planalp, 1999).
    Manajemen peristiwa-peristiwa yang muncul merupakan strategi yang dilakukan mulai dari menghindari situasi sampai melakukan pengukuran yang nyata mengenai situasi tersebut. Hal ini nampak pada reaksi emosi subyek ketika mengalami reaksi emosi negatif kemudian diekspresikan melalui tulisan dan gambar dengan menceritakan kembali peristiwa-peristiwa yang dialami kemudian diukur secara nyata melalui penilaian emosi yang dirasakan ketika menulis dan menggambar.
    Manajemen pertimbangan akan nilai-nilai merupakan ekspresi emosi yang direaksi oleh subyek dalam suatu perilaku dilakukan dengan pertimbangan nilai-nilai sosial. Emosi sedih yang dirasakan tidak secara langsung diekspresikan dalam bentuk menangis, namun subyek mengekspresikannya dalam bentuk gambar yang memberi kesan sedih. Manajemen ekspresi dan impresi merupakan pengontrolan terhadap emosi yang dirasakan dan yang diekspresikan. Hal ini terlihat dari reaksi-reaksi emosi negatif tertentu yang diekspresikan secara spontan oleh subyek dalam bentuk gambar, ekspresi wajah dan isyarat tubuh (gesture). Ketika subyek merasakan emosi sedih, ia mengekspresikannya melalui wajah dengan menampakkan kerutan di sekitar mata. Strategi yang terakhir adalah strategi sosial dan antisosial. Emosi dapat dimanajemen secara sosial dengan mencoba menciptakan suatu impresi atau perilaku tertentu, dengan harapan hal itu akan menjadi kenyataan. Subyek dengan strategi ini diharapkan akan mempercepat meredakan emosi atau menata tingkatan emosi yang lebih stabil. Dalam hal ini mengambar dapat menciptakan subyek pada suatu kondisi yang tenang, mengekresikan segala sesuatu yang dirasakan ke dalam gambar dengan lebih stabil.
    Hasil penelitian juga menemukan bahwa tidak semua subyek melakukan keempat strategi deep acting untuk memanajemen emosi, yaitu tidak dilakukannya strategi manajemen ekspresi dan impresi. Hal ini disebabkan faktor latar belakang subyek, terutama dari keluarga yang sangat mempengaruhi identifikasi emosinya. Temuan ini sejalan dengan pendapat Gross & Hayne (1998) yang menyatakan bahwa anak-anak melakukan penolakan mengalami emosi negatif yang berhubungan dengan penolakan, sebagai konsekuensi mereka belajar untuk menonaktifkan ekspresi dari perasaan negatifnya dengan menolak jalinan hubungan dekat, kemudian menghilangkan dan membutakan semua pengalaman afeksinya. Dalam interaksi dengan anak, model ekspresi emosi orangtua sejalan dengan teknik pengaturan emosi yang dilakukan anak-anak (Ekman, 1980).


    KESIMPULAN


    1. Emosi negatif yang sering muncul pada anak-anak tunarungu yang diasrama¬kan adalah sedih, marah, dan irihati. semua subyek
    2. Emosi negatif yang sama-sama dirasakan oleh adalah emosi sedih, yakni pada saat anak-anak tunarungu yang diasramakan lama tidak dijenguk orangtua dan keluarga.
    3. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya emosi negatif pada anak tunarungu yang diasramakan adalah: a) terpisah dari orangtua, saudara dan lingkungan keluarga, b) jarang dikunjungi oleh orangtua atau sanak saudara, c) jarang dikirimi paket atau terlambat dikirimi uang, d) sering melihat penghuni asrama lainnya diperhatikan atau dikunjungi oleh orangtuanya, e) marah jika dilarang orangtua menonton TV seharian di rumah, dan f) marah jika dilarang bermain oleh orangtua saat pulang ke rumah.
    4. Manajemen emosi negatif yang dilakukan pada anak tunarungu yang diasramakan melalui empat tahap, yaitu: a) mengekspresikan emosi negatif secara spontan, b) memikirkan peristiwa-peristiwa secara mendalam, c) melibatkan atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi, dan d) memadyakan ekspresi emosi negatif dengan memperbesar ekspresi emosi positif.
    5. Setelah digunakan buku “Jendela Hatiku”, emosi negatif pada subyek mengalami penurunan, subyek lebih mampu memanajemen emosi negatif yang dirasakan melalui mekanisme tahapan manajemen emosi negatif. Dengan demikian, penggunaan buku “Jendela Hatiku” dapat mengurangi emosi negatif pada anak tunarungu diasramakan di SLB B Aur Kuning Payakumbuh.


    DAFTARPUSTAKA


    Armstrong, T. (2000). Setiap Anak Cerdas, Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Inteligensinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
    Ekman, P. Friesen, V.W, & Ancol, C. (1980). Facial Signs of Emotional Experience. Journal of Personality & Social Psychology.
    Familia. (2002). Artikel : Menyadari Stres pada Anak.Majalah No. 9 Tahun ke-3 Juli 2002. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.
    Goleman, D. (1995). Emotional Intellegence: Why It Can Matter More Than IQ. London: Bloomsburry Publishing.
    Gross, J & Hayne, H. (1998). Drawing Facilities Children’s Verbal Reports of Emotionally LadenEvents. Journal of Experimental Psychology Applied. Vol 4, No. 2, hal 1-17.

    Marlina. (2008). Manajemen Emosi Negatif Melalui Buku “Jendela Hatiku” pada Anak Tunarungu yang Diasramakan (Residentialized Children).Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.
    Planalp, S. (1999). Communicating Emotion : Social, Moral and Cultural Processes. Cambridge: Cambridge University Press.
    Prawitasari, JE. (2000). Pengembangan Deteksi Emosi pada Pasien Rumah Sakit Umum.Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
    Prawitasari, JE. (1998). Kualitas Emosi dalam Penelitian Emosi. Jurnal Psikologi, XXV (1). hal 1-16.
    Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology: Biopsychology Interaction. Massachussets: John Wiley & Sons

    Label: