Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Kamis, 29 April 2010

    Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa

    Model Konseling Rehabilitasi
    bagi Individu Tunanetra Dewasa

    Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia


    ABSTRAK

    Dengan exploratory mixed methods research design, penelitian ini mengembangkan model konseling rehabilitasi bagi orang dewasa yang baru mengalami ketunanetraan untuk membantunya mengatasi masalah-masalah psikososial yang diakibatkan oleh ketunanetraan. Konstruk model dikembangkan dari data hasil studi kasus terhadap enam orang yang ketunanetraannya terjadi pada usia dewasa dan telah terbukti berhasil dalam kehidupannya. Konstruk model tersebut memuat lima unsur yang saling terkait yaitu: (1) keyakinan filosofis tentang ketunanetraan dan konseling rehabilitasi, (2) tujuan konseling, (3) pendekatan konseling, (4) metode konseling, dan (5) tahap-tahap konseling. Model divalidasi dengan expert judgment dan diujicobakan dengan desain single-subject research pada dua orang klien yang relatif baru mengalami ketunanetraan.
    Kata Kunci: konseling rehabilitasi, tunanetra dewasa

    PENDAHULUAN


    Data yang dikeluarkan oleh WHO (2004) menunjukkan bahwa secara global, pada tahun 2002 terdapat lebih dari 161 juta orang tunanetra, yang terdiri dari 124 juta orang penyandang low vision dan 37 juta orang tunanetra berat. Lebih dari 82% dari seluruh populasi tunanetra itu berusia 50 tahun atau lebih tua. Ini berarti bahwa sebagian besar orang tunanetra pernah bergantung pada penglihatannya untuk mengenal dan berhubungan dengan dunia
    Ketunanetraan yang terjadi pada masa dewasa memunculkan lebih banyak tantangan psikologis daripada ketunanetraan yang terjadi pada awal masa kehidupan. Ketunanetraan yang terjadi tiba-tiba pada usia dewasa dapat mengakibatkan depresi, persepsi diri yang tidak tepat, sangat menurunnya tingkat motivasi, rendahnya harga diri, dan rendahnya self-efficacy (Dodds, 1993).
    Reaksi terhadap kebutaan yang mendadak mungkin paralel dengan tahapan penyesuaian terhadap kehilangan akibat kematian (Kubler-Ross, 1969; Messina & Messina, 2005). Meskipun tidak ada kesepakatan di kalangan para teoretisi mengenai jumlah tahapan dalam proses penyesuaian ini, tetapi terdapat banyak persamaan dalam berbagai model penyesuaian yang mereka kemukakan, yaitu bahwa proses penyesuaian terhadap ketunanetraan itu biasanya mencakup tiga tahapan umum. Ketiga tahapan tersebut mencakup tahap awal yang berupa reaksi syok dan/atau penolakan, yang diikuti dengan tahap di mana individu mengalami keadaan cemas, stress hingga depresi, dan akhirnya tahap penerimaan dan penyesuaian (Buys & Kendall, 1998). Namun perlu ditekankan bahwa respon individu terhadap kehilangan penglihatan itu bersifat idiosinkratik dan mungkin sangat terkait dengan status penyesuaian dirinya sebelum menjadi tunanetra (Harrington & Mcdermott, 1993).
    Kehilangan penglihatan sering mengakibatkan masalah-masalah sosial, seperti penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina hubungan sosial, dan sikap belas kasihan dan overproteksi dari orang-orang lain (Steffens & Bergler, 1998 – dalam Ben-Zur & Debi, 2005), serta kesulitan mendapatkan pekerjaan (Golub, 2003).
    Helen Keller (Dodds, 1993) bahkan mengamati bahwa hambatan utama bagi individu tunanetra bukan ketunanetraannya itu sendiri, melainkan sikap orang-orang awas terhadap orang tunanetra. Keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan ketunaan sebagian besar diakibatkan oleh lingkungan yang nonakomodatif dan sikap diskriminatif dari orang-orang non-ketunaan, bukan oleh kekurangan fungsional yang terkait dengan ketunaan itu sendiri (Seelman, 1998 - dalam Bellini & Rumrill, 1999). Oleh karena itu, mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan kehilangan penglihatan harus dilakukan dua arah: (1) terhadap penyandangnya pada level emosi, persepsi, kognitif, dan perilaku; dan (2) terhadap lingkungan sosialnya untuk memberikan pemahaman yang tepat mengenai hakikat ketunaan. Dan ini semua saling terkait (Dodds, 1993).
    Karena kehilangan penglihatan mempengaruhi individu pada berbagai level sekaligus, yang menuntut individu itu mengubah caranya berpersepsi, berperilaku, berpikir, dan merasakan berbagai hal, maka penyesuaian dirinya dapat merupakan proses yang panjang, dan mungkin harus dilakukan melalui berbagai macam cara, tergantung pada temperamen individu itu, pengalamannya terdahulu, dan strategi coping yang dipergunakanya untuk mengatasi krisis (Dodds, 1991; Horowitz & Reinhardt, 1998). John Hull (1990) membutuhkan waktu empat tahun untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ketunanetraannya, sedangkan Rebecca Conrad (2004) memerlukan 15 tahun untuk sampai pada titik kecenderungan untuk menerima ketunanetraannya.
    Bagi individu yang ketunanetraannya terjadi pada usia dewasa, belajar beradaptasi dengan kehilangan penglihatan dapat merupakan salah satu rintangan kehidupan yang paling besar (Lighthouse International, 2007). Akan tetapi, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh the Arlene R. Gordon Research Institute (Lighthouse International, 2007), terdapat beberapa strategi yang dapat membantu banyak orang tunanetra beradaptasi dengan ketunanetraannya. Penerimaan yang realistik terhadap kehilangan penglihatan – tidak menolak dan tidak juga membesar-besarkan dampaknya – merupakan salah satu langkah terpenting untuk mengatasi tantangan yang diakibatkan oleh ketunanetraan. Semakin tinggi keberhasilan seorang individu dalam mengadaptasikan dirinya dengan kondisi ketunanetraan, akan semakin tinggi pula kemampuan fungsionalnya, harga dirinya, dan kepuasan hidupnya, dan akan semakin rendah tingkat depresinya (Elliott & Kuyk, 1994; Horowitz & Reinhardt, 1998).
    Pengalaman menunjukkan bahwa bila memperoleh pendidikan dan latihan yang tepat dan diberi kesempatan yang sama (sebagai tindak lanjut dari perlakuan konseling rehabilitasi), orang tunanetra pada umumnya dapat melakukan pekerjaan pada umumnya di tempat kerja pada umumnya, dan dapat melakukannya sebaik tetangganya yang awas (Omvig, 1999).
    Kunci pembuka jalan ke arah keberhasilan tersebut adalah persepsi diri (self-perception) yang tepat dan penerimaan diri sepenuhnya (unconditional self-acceptance), dan intervensi konseling telah terbukti efektif untuk menumbuhkannya dan memfasilitasi penyesuaian (adjustment) dengan kondisi ketunanetraan itu.
    Di beberapa Negara, konseling yang dikaitkan dengan rehabilitasi penyandang ketunaan telah berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu yang disebut “rehabilitation counseling”. Konseling rehabilitasi adalah proses konseling untuk membantu individu penyandang ketunaan dalam beradaptasi dengan lingkungan, dan membantu lingkungan dalam mengakomodasi kebutuhan individu tersebut agar dapat mencapai tujuan personal, vokasional, dan kehidupan yang mandiri, dan mampu berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Praktek konseling rehabilitasi dilandasi oleh filosofi rehabilitasi dalam konteks yang luas. Prinsip dasar filosofi rehabilitasi mengajarkan pemahaman yang benar tentang dampak ketunaan terhadap individu, hak-hak individu, dan saran-saran mengenai strategi untuk mencapai tujuan rehabilitasi (Maki & Riggar, 1985 – dalam Parker et al, 2004).
    Berbagai model intervensi konseling telah diterapkan untuk membantu penyandang ketunaan beradaptasi secara psikososial dengan kondisi ketunaannya, baik dalam setting individual maupun kelompok. Literatur menunjukkan bahwa di antara teori-teori konseling yang paling banyak diterapkan adalah psikoanalisis, psikodinamik, individual (Adlerian), Gestalt (Perls), person-centered (Rogers), rational-emotive-behavioral (Ellis), cognitive (Beck), dan behaviorist. Akan tetapi, tujuan fundamental dari konseling rehabilitasi – yaitu memberdayakan penyandang ketunaan untuk mencapai potensi tertingginya dalam ranah personal, kehidupan sosial, dan dunia kerja – dapat terwujud terbaik dengan menggunakan model intervensi konseling eklektik/integratif (Parker et al., 2004). Lebih jauh, karena rehabilitasi penyandang ketunaan menganut perspektif holistik dan ekoligis, yaitu mencakup aspek-aspek fisik, mental dan spiritual individu yang bersangkutan maupun hubungannya dengan keluarganya, pekerjaannya dan keseluruhan lingkungannya, maka diperlukan konseling dengan pendekatan ekologis.
    Di dalam masyarakat Indonesia, penulis telah mengidentifikasi beberapa individu tunanetra dewasa yang mampu menghadapi berbagai tantangan ketunanetraannya itu dengan berhasil dalam waktu yang relatif singkat dan berhasil mendapatkan kembali kemandiriannya dan mencapai kehidupan yang bermakna, tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk banyak orang lain. Studi ini meneliti bagaimana keberhasilan tersebut dapat dicapai, dan bagaimana pengalaman keberhasilan tersebut dapat dituangkan ke dalam sebuah model konseling rehabilitasi untuk membantu individu dewasa lain yang baru mengalami ketunanetraan. Model konseling rehabilitasi yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga ketunanetraan, terutama lembaga penyedia layanan rehabilitasi bagi tunanetra dewasa, untuk membantu para kliennya mengatasi berbagai permasalahan psikologis akibat ketunanetraan agar mampu mendapatkan kembali kemandiriannya dan mencapai kehidupan yang bermakna.



    METODE


    Penelitian ini difokuskan pada orang yang menjadi tunanetra pada usia dewasa (usia 18 tahun atau lebih) yang selanjutnya disebut “tunanetra dewasa”. Terdapat dua kelompok target penelitian ini, yaitu (1) tunanetra dewasa yang sudah terbukti berhasil mengatasi masalah penyesuaian dirinya dengan ketunanetra¬annya, dan (2) individu tunanetra dewasa yang baru mengalami ketunanetraan dan masih dihadapkan pada kesulitan dalam penye¬suaian dirinya terhadap kondisi ketuna¬netraannya. Penelitian pada kelompok target pertama difokuskan pada proses keberhasilannya, sedangkan penelitian pada kelompok target kedua difokuskan pada keefektifan model konseling rehabilitasi yang diterapkan kepadanya.
    Oleh karena itu, ada dua gugus pertanyaan penelitian yang dicoba dijawab melalui penelitian ini. Pertanyaan penelitian gugus pertama adalah yang terkait dengan kasus-kasus yang berhasil, sedangkan pertanyaan penelitian gugus kedua adalah yang terkait dengan model konseling rehabilitasi yang diterapkan kepada individu tunanetra dewasa yang masih berada dalam proses adaptasi.
    Kedua gugus pertanyaan penelitian tersebut dirumuskan sebagai berikut:
    a. Bagaimanakah individu tunanetra dewasa dapat berhasil mengatasi dampak ketunanetraannya sehingga mampu mendapatkan kembali kemandiriannya dan mencapai kehidupan yang bermakna?
    b. Bagaimanakah model konseling rehabilitasi yang dapat membantu individu tunanetra dewasa memperoleh kepercayaan diri untuk mendapatkan kembali kemandirian¬nya dan membangun kehidupan yang bermakna?
    Selanjutnya dua gugus pertanyaan tersebut dirinci dalam enam subpertanyaan penelitian. sebagai berikut:
    c. Bagaimanakah proses penyesuaian psikososial kasus dengan kondisi ketunanetraannya?
    d. Faktor-faktor apakah yang berkontribusi pada penerimaan kasus terhadap ketunanetraannya?
    e. Strategi coping apakah yang digunakan kasus untuk menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh ketunanetrannya?
    f. Pandangan filosofis apakah yang mendasari keberhasilan hidup kasus?
    g. Bagaimanakah sebaiknya konstruk model konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra dewasa?
    h. Apakah model konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra dewasa yang dihasilkan dari penelitian ini efektif?
    Penelitian dilaksanakan menggunakan pendekatan research and development (R & D) dengan exploratory mixed method research design. Desain ini dipilih karena peneliti harus menangani dua jenis data yaitu data kualitatif maupun data kuantitatif. Data kualitatif itu berupa data deskriptif tentang pengalaman sejumlah individu tunanetra dewasa dalam mengatasi berbagai kesulitan yang diakibatkan oleh ketunanetraannya yang mengarah pada keberhasilanya memperoleh kembali kemadiriannya dan mencapai kehidupan yang bermakna; sedangkan data kuantitatif adalah berupa hasil pengukuran keefektifan model konseling rehabilitasi yang dirumuskan berdasarkan data kualitatif tersebut.
    Data kualitatif tentang pengalaman keberhasilan kasus diperoleh melalui wawancara mendalam (in-depth interview), dengan pedoman wawancara tak berstruktur, dalam studi kasus terhadap partisipan yang memenuhi kriteria purposive sampling sebagai berikut:
    1) Partisipan menjadi tunanetra pada usia dewasa (18 tahun atau lebih).
    2) Setelah menjadi tunanetra, partisipan mampu menyelesaikan studinya di S-1 (bagi individu yang ketunane¬traannya terjadi sebelum tamat S-1).
    3) Setelah menjadi tunanetra, partisipan memiliki pekerjaan tetap yang bermartabat dengan penghasilan di atas standar upah minimum regional (UMR).
    4) Setelah menjadi tunanetra, partisipan mampu menghasilkan karya atau melakukan kegiatan (di luar pekerjaan rutinnya) yang bermanfaat bagi komunitasnya.
    Berdasarkan kriteria tersebut, ditemukan enam orang partisipan dengan data demografik sebagai berikut. Tiga kasus tinggal di Bandung, sedangkan tiga lainnya masing-masing tinggal di Jakarta, Yogyakarta dan Semarang. Keenam kasus beragama Islam. Empat dari kasus adalah laki-laki dan dua lainnya adalah perempuan. Empat kasus menjadi tunanetra karena penyakit dan dua lainnya karena kecelakaan. Ketunanetraan pada Tiga kasus tergolong kategori low vision dan tiga kasus lainnya tergolong blind (berdasarkan definisi WHO). Tiga kasus menjadi tunanetra secara gradual, dua kasus menjadi tunanetra secara mendadak, dan satu lainnya secara drastis. Empat kasus menjadi tunanetra pada usia 20-an dan dua lainnya pada usia 30-an. Pada saat menjadi tunanetra, tiga kasus sudah memperoleh gelar sarjana, sedangkan tiga kasus lainnya adalah tamatan pendidikan menengah. Tiga kasus menjadi tunanetra pada saat sudah berstatus menikah, sedangkan tiga lainnya masih lajang; empat kasus sudah memiliki pekerjaan tetap, satu kasus sudah bekerja paruh waktu, dan satu kasus belum bekerja.
    Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa yang dirumuskan berdasarkan hasil studi kasus terhadap individu tunanetra dewasa yang berhasil itu (setelah divalidasi melalui expert judgment) diujicobakan kepada dua orang klien untuk melihat keefektifannya. Uji coba dilaksanakan menggunakan single-subject research dengan desain A-B-A.
    Untuk uji efektivitas digunakan dua orang partisipan, kedua orang klien tersebut terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing berusia 37 dan 34 tahun. Satu klien beragama Islam dan yang lainnya beragama Kristen, satu klien sudah berkeluarga dan yang lainnya masih lajang. Kedua klien menjadi tunanetra karena penyakit lebih dari dua tahun tetapi kurang dari tiga tahun sebelum intervensi uji coba dilaksanakan. Klien 1 menjadi tunanetra secara gradual dalam kurun waktu satu tahun dan kini hanya memiliki persepsi cahaya, sedangkan Klien 2 menjadi tunanetra secara mendadak dan kini masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional (low vision). Klien 1 adalah tamatan SMA dan merupakan seorang pengusaha konveksi ketika ketunanetraannya terjadi, sedangkan Klien 2 berpendidikan S1 manajemen dan merupakan staf akunting sebuah perusahaan garmen ketika ketunanetraannya terjadi. Hingga penelitian ini dilaksanakan, kedua klien belum pernah memperoleh intervensi rehabilitasi, dan kini mereka hidup dengan dukungan keluarganya.
    Penelitian dimulai dengan mengaplikasikan instrumen asesmen tersebut yang hasilnya merupakan baseline, kemudian dilakukan treatment dengan mengaplikasikan model konseling rehabilitasi, dan setelah itu instrumen asesmen yang sama diaplikasikan kembali. Hasil asesmen kedua dibandingkan dengan baseline. Perbandingan antara baseline dengan asesmen kedua dapat menunjukkan perubahan persepsi partisipan tentang ketunanetraan dan implikasinya bagi dirinya.
    Untuk mendapatkan data kuantitatif, perubahan persepsi tersebut dikuantifikasikan sebagai berikut:
    1) Skor 1 diberikan apabila pernyataan-pernyataan pada asesmen sesudah intervensi mengindikasikan ada perubahan yang jelas ke arah yang lebih positif dalam persepsi partisipan tentang ketunanetraan dan implikasinya bagi dirinya.
    2) Skor 0 diberikan apabila tidak ada indikasi yang jelas dalam perubahan persepsi partisipan.
    3) -1 diberikan apabila pernyataan-pernyataan pada wawancara asesmen sesudah intervensi justru mengindikasikan adanya perubahan ke arah yang lebih negatif dalam persepsi partisipan tentang ketunanetraan dan implikasinya bagi dirinya.
    Mengenai keefektifan model ini, peneliti menentukan kriteria sebagai berikut.
    1) Apabila total skor untuk efek intervensi seorang klien mencapai 7 atau lebih, maka peneliti menafsirkan bahwa model konseling ini cenderung efektif untuk klien tersebut.
    2) Apabila rata-rata total skor untuk kedua partisipan itu adalah sekurang-kurangnya 7 dan total skor masing-masing partisipan adalah sekurang-kurangnya 7, maka peneliti dapat berasumsi bahwa model itu cenderung efektif.
    3) Apabila rata-rata total skor kedua partisipan itu adalah 7 tetapi total skor salah seorang partisipan adalah kurang dari 7, maka peneliti menafsirkan bahwa keefektifan model itu meragukan.



    HASIL DAN PEMBAHASAN


    Studi kasus terhadap enam individu tunanetra dewasa yang berhasil memunculkan data hasil penelitian tentang: (1) proses penyesuaian psikososial kasus dengan kondisi ketunanetraannya, (2) faktor-faktor yang berkontribusi pada penerimaan kasus terhadap ketunanetra¬annya, (3) strategi coping yang digunakan kasus untuk menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh ketunanetrannya, dan (4) pandangan filosofis yang mendasari keberhasilan hidup kasus. Data tersebut dijadikan dasar bagi konstruk Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa yang diujicobakan pada dua orang klien.
    1. Proses Penyesuaian Psikososial Kasus dengan Kondisi Ketunanetra¬annya
    Temuan penelitian ini mendukung teori bahwa reaksi individu terhadap kehilangan penglihatan yang terjadi pada masa dewasa bersifat idiosinkratik, bervariasi dari individu ke individu, baik dalam bentuk reaksinya, tahapannya maupun waktu yang dibutuhkannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Namun reaksi-reaksi itu dapat dikategorikan ke dalam tiga tahapan umum yaitu tahap awal yang berupa reaksi syok dan/atau penolakan, yang diikuti dengan tahap di mana individu mengalami keadaan cemas, stress hingga depresi, dan akhirnya tahap penerimaan dan penyesuaian.
    Setelah berhasil menyesuaikan dirinya dengan kondisi ketunanetraan, semua kasus dalam penelitian ini berhasil mengembangkan dirinya ke arah kebermaknaan hidup, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang banyak. Keberhasilan-keberhasilan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:
    a. Semua kasus (tiga orang) yang ketunanetraannya terjadi sebelum mereka menempuh pendidikan tinggi berhasil meraih gelar sarjana, dan satu kasus berhasil meraih gelar magister, dan seorang kasus yang pada saat terjadinya ketunanetraan sudah memperoleh gelar sarjana berhasil memperoleh gelar magister. .
    b. Dari empat kasus yang ketunanetraannya terjadi sesudah memasuki dunia kerja, satu kasus dapat melanjutkan karirnya dalam pekerjaan yang sama (sebagai dosen), satu kasus melanjutkan karir dalam bidang terkait tetapi dengan berganti pekerjaan (dari pegawai bank menjadi komisaris sebuah lembaga konsultan keuangan), dua kasus mengubah bidang karirnya (satu beralih dari karir militer ke karir guru, dan satu lainnya beralih dari asisten apoteker menjadi guru).
    c. Kasus yang ketunanetraannya terjadi sesudah menyelesaikan pendidikan tinggi tetapi belum bekerja berhasil mengembangkan karir dalam bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya (sebagai psikolog sekolah).
    d. Semua kasus berhasil mencapai kehidupan yang layak dan mempunyai karya atau kegiatan lain (di luar pekerjaan rutinnya) yang bermakna bagi orang banyak.
    2. Faktor-faktor yang Berkontribusi pada Penerimaan Kasus terhadap Ketunanetraannya
    Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga dan orang-orang lain yang signifikan, religiositas, kontak dengan individu tunanetra yang berhasil, serta kontak dengan lembaga ketunanetraan (meskipun tidak terlibat langsung sebagai klien di lembaga tersebut) merupakan faktor kontributif terhadap proses penerimaan ketunanetraan bagi kasus. Penelitian juga menunjukkan bahwa persepsi positif tentang orang tunanetra yang diperoleh sebelum kasus sendiri menjadi tunanetra berpengaruh positif pada penerimaan ketunanetraannya. Selain itu, keberhasilan kasus dalam memperoleh keterampilan baru (keterampilan kompensatoris) pada awal masa ketunanetraan terbukti mempercepat penerimaan kasus akan ketunanetraannya.
    3. Strategi Coping yang Digunakan Kasus untuk Menghadapi Tantangan yang Diakibatkan oleh Ketunanetra¬annya
    Strategi-strategi ini dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori yaitu:
    a. Religious coping strategy dalam bentuk berdoa yang digunakan kasus untuk mendapatkan jalan guna menghadapi kesulitan terutama pada masa-masa awal ketunanetraannya. Mereka meyakini bahwa Tuhan akan menunjukkan jalan keluar dari masalah apabila mereka berdoa secara khusuk.
    b. Psychological coping strategy (yang mencakup kognitif dan emotif) difokuskan pada upaya-upaya untuk menerima realita ketunanetraan, menemukan kembali rasa harga diri, menumbuhkan kegairahan untuk belajar keterampilan baru, menum¬buh¬kan kemampuan emosional untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh ketunanetraan. Ini dilakukan setelah kasus mulai memasuki tahap penerimaan, mereka mulai mencari informasi tentang ketunanetraan dan mulai belajar keterampilan kompensatoris yang dibutuhkannya untuk melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari tanpa penglihatan, mengontrol emosi atau melakukan perenungan diri (self-talk) bila mereka menghadapi sikap masyarakat yang tidak suportif.
    c. Behavioral coping strategy berupa penggunaan keterampilan kompen¬satoris atau teknik alternatif untuk mengatasi tuntutan lingkungan dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas. Pada umumnya kasus menggunakan jenis keterampilan kompensatoris yang sama yang mencakup penggunaan Braille dan rekaman audio untuk membaca/ menulis, menggunakan komputer dengan software pembaca layar JAWS atau menggunakan mesin tik biasa dengan teknik 10 jari untuk berkomunikasi secara tertulis dengan orang awas, dan menggunakan tongkat sebagai alat bantu orientasi dan mobilitas. Extensivitas penggunaan masing-masing keterampilan kompen¬satoris tersebut bervariasi dari kasus ke kasus tergantung preferensinya. Kasus tertentu yang masih memiliki sisa penglihatan yang cukup baik juga menggunakan CCTV untuk keperluan membaca tulisan biasa. Dalam hal tertentu, keterampilan kompensatoris itu berupa teknik alternatif tanpa alat bantu khusus, yaitu berupa modifikasi perilaku.
    d. Social coping strategy yaitu upaya-upaya untuk mengatasi kesulitan akibat ketunanetraan dengan melibatkan bantuan orang lain. Strategi ini digunakan kasus dalam hal keterampilan kompensatoris yang dimilikinya tidak dapat mengatasi tuntutan lingkungan yang dihadapinya.
    e. Self-advocacy adalah upaya penyandang ketunaan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya dengan menyuarakannya dan mengkomunikasikannya. Strategi ini digunakan kasus untuk menghadapi perlakuan diskriminatif atau perlakuan tak wajar yang masih sering mereka terima sebagai akibat dari mispersepsi masyarakat tentang ketunanetraan dan tentang ketunaan pada umumnya.
    4. Pandangan Filosofis yang Mendasari Keberhasilan Hidup Kasus
    Setelah Kasus melewati proses yang panjang melalui berbagai macam pengalaman pahit selama masa-masa awal ketunanetraannya dan pengalaman keberhasilan yang kemudian mereka raih, mereka memandang ketunanetraan sebagai salah satu karakteristik manusia yang dianugrahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu yang seyogyanya dipandang sejajar dengan berbagai karakteristik lain yang secara bersama-sama membentuk keunikan individu, dan oleh karenanya tidak seyogyanya dipandang sebagai inferior. Ketunanetraan memang dapat menimbulkan berbagai tantangan, tetapi Tuhan telah menyediakan jalan untuk mengatasinya, sehingga ketunanetraan tidak harus menghalangi orang untuk mencapai kehidupan yang bermakna, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
    5. Konstruk Model Konseling Rehabili¬tasi bagi Individu Tunanetra Dewasa
    Konstruk model ini memuat lima unsur yang saling terkait dan harus terintegrasikan ke dalam intervensi yang dilakukan oleh seorang konselor. Kelima unsur tersebut adalah: (a) keyakinan filosofis tentang ketunanetraan dan konseling rehabilitasi, (b) tujuan konseling, (c) pendekatan konseling, (d) metode konseling, dan (e) tahap-tahap konseling.
    a. Filosofi. Secara filosofis, model konseling rehabilitasi ini didasarkan atas pandangan tentang ketunanetraan yang positif, yaitu sebagai salah satu karakteristik manusia yang sejajar dengan berbagai karakteristik lainnya yang secara keseluruhan membentuk keunikan individu, dan atas pandangan bahwa konseling rehabilitasi merupakan proses yang mampu memberdayakan individu tunanetra guna mempertahan¬kan eksistensinya sebagai warga masyarakat yang bermartabat. Oleh karena itu, tingkat keberhasilan model ini akan lebih tinggi apabila konselor yang mengaplikasikannya menganut pandangan filosofis ini
    b. Tujuan. Setelah mendapatkan intervensi konseling rehabilitasi dengan model ini, individu tunanetra dewasa diharapkan:
    1) menerima kondisi ketunanetraanya.
    2) merasa mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang ter¬dekatnya.
    3) memiliki pengetahuan tentang keterampilan kompensatoris yang dibutuhkannya dan sumber untuk mendapatkanya.
    4) memiliki keyakinan akan berhasil memperoleh kemandiriannya kembali.
    5) dapat membuat perencanaan yang realistis untuk masa depannya.
    c. Pendekatan. Model konseling ini didasarkan atas pendekatan holistik/ekologis, yang mengintervensi seluruh aspek pribadi klien secara terintegrasi, yang mencakup aspek-aspek fisik, mental, sosial dan spiritual maupun hubunganya dengan keluarganya, pekerjaannya dan keseluruhan lingkungannya.



    bbbbGambar 1
    Konstruk Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa


    d. Metode. Model konseling ini dianjurkan untuk diterapkan menggunakan metode eklektik, yang terutama terdiri dari Person-Centered Counseling, konseling kognitif dan konseling behavioral, dalam setting konseling individual maupun kelompok.
    e. Tahap-tahap Konseling. Model ini terdiri dari 5 atau 6 tahap konseling, yang masing-masing tahap dapat terdiri dari beberapa sesi konseling tergantung kebutuhan klien. Kesemua tahapan konseling melibatkan klien dan orang-orang lain yang paling signifikan baginya. Tahap-tahap intervensi konseling itu adalah sebagai berikut:
    Tahap 1: Asesmen
    Tahap 2: Intervensi keluarga dan orang-orang lain yang paling signifikan bagi klien
    Tahap 3: Konseling melalui kontak dengan individu tunanetra yang berhasil
    Tahap 4: Konseling melalui kontak dengan lembaga rehabilitasi tunanetra
    Tahap 5: (Opsional): Intervensi lingkungan kerja atau lingkungan belajar. Tahap ini dilaksanakan hanya apabila klien masih terdaftar sebagai pegawai atau mahasiswa.
    Tahap 6: Refleksi, evaluasi, rencana tindak lanjut, dan referal
    6. Keefektifan Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa
    Setelah diujicobakan dalam skala terbatas kepada dua orang klien tunanetra dewasa, model konseling ini menunjukkan efektif bagi kedua orang klien tersebut. Mereka menunjukkan perubahan ke arah yang lebih positif pada 9 dari 10 item wawancara asesmen sesudah intervensi. Dengan demikian, penulis dapat berasumsi bahwa model ini efektif untuk membantu individu tunanetra dewasa menumbuhkan keyakinannya bahwa mereka akan dapat mengatasi masalah-masalah yang diakibatkan oleh ketunanetraannya dan memperoleh kembali kemandiriannya.


    KESIMPULAN


    Konstruk model konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra dewasa konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra dewasamemuat lima unsur yang saling terkait yaitu: (1) keyakinan filosofis tentang ketunanetraan dan konseling rehabilitasi, (2) tujuan konseling, (3) pendekatan konseling, (4) metode konseling, dan (5) tahap-tahap konseling. Model divalidasi dengan expert judgment dan diujicobakan dengan desain single-subject research pada dua orang klien yang relatif baru mengalami ketunanetraan. Hasilnua menunjukkan bahwa model tersebut efektif.


    DAFTAR PUSTAKA


    Bellini, J. L. & Rumrill, P. D., Jr. (1999). Research in Rehabilitation Counseling. Springfield, Illinois: Charles C Thomas Publisher, Ltd.
    Ben-Zur, H. & Debi, Z. (2005). “Optimism, Social Comparisons, and Coping with Vision Loss in Israel”. Journal of Visual Impairment and Blindness, 99 (3), 151-164.
    Buys, N. & Kendall, E. (1998). “An Integrated Model of Psychosocial Adjustment Following Acquired Disability”. The Journal of Rehabilitation 64.
    Conrad, R. (2004). Coping with blindness. (Online): http://www.enablelink.com/coping_with_blindness.htm. Retrieved 11/11/2004.
    Creswell, J.W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publications.
    Creswell, J.W. (2008). Educational Research: Planning, Constructing, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Upper Saddle River: Pearson.
    Dodds, A. (1993). Rehabilitating Blind and Visually Impaired People: A psychological approach. London: Chapman& Hall.
    Dodds, A.; Ferguson, E.; Ng, L.; Flannigan, H.; Hawes, G.; & Yates, L. (1994). “The concept of adjustment: A structural model”. Journal of Visual Impairment & Blindness, 88, 487-497.
    Dodds, A.G. (1991). “The psychology of rehabilitation”. British Journal of Visual Impairment, 9 (2).
    Elliott, J. L., & Kuyk, T. K. (1994). “Selfreported functional and psychosocial outcomes of blind rehabilitation”. Journal of Visual Impairment & Blindness, 88, 206-212.
    Fitzgerald and Parkes (1998). “Coping with loss: Blindness and loss of other sensory and cognitive functions”. Palliative Medicine. (Online): http://bmj.bmjjournals.com/cgi/content/full/316/7138/1160#B8
    Harrington, R. G. & Mcdermott, D. (1993). “A Model for the Interpretation of Personality Assessments of Individuals with Visual Impairments”. The Journal of Rehabilitation, 59 (4).
    Horowitz, A., & Reinhardt, J. P (1998). “Development of the adaptation to age-related vision loss scale”. Journal of Visual Impairment & Blindness, 92, 30-41.
    Hull, J. (1990). Touching the Rock. London: Arrow Books.
    Kubler-Ross, E. (1969). On death and dying. New York: Macmillan Publishing Co.
    Lighthouse International (2007). Coping with Age-Related Vision Loss. (Online): http://www.lighthouse.org/. Retrieved 27/05/2007.
    Messina, J.J. & Messina, C. M. (2004). Tools for Handling Loss. (Online): http://www.coping.org. Retrieved 10/09/2005.
    Omvig, J.H. (1999). “Proper Training for the Blind; What Is It? - The Fourth Ingredient”. The Braille Monitor. November 1999. Baltimore: National Federation of the Blind.
    Parker, M.R.; Szimanski, E.M.; & Patterson, J.B. (Eds.) (2004). Rehabilitation Counseling: Basics and Beyond. Fourth Edition. Texas: Pro.ed Inc. International Publisher
    Sussman-Skalka, C.J. (2006). Depression: It Can Happen to Anyone. (Online): http://www.lighthouse.org/. Retrieved 01/05/2006.
    World Health Organization. (2004). Magnitude and causes of visual impairment. Fact Sheet No. 282. (Online): http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/. Retrieved 09/12/2007.

    kkk




    Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

    Indeks Inklusi dalam Pembelajaran
    di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

    Juang Sunanto
    Universitas Pendidikan Indonesia


    ABSTRAK

    Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui (1) bagaimanakah keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung, (2) berapa besar indeks inklusi (index for inclusion) yang dicapai di Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung, dan (3) berapa besar indeks inklusi di Sekolah Dasar penyelenggara pendidikan inklusif berdasarkan jumlah ABK, jumlah siswa keseluruhan di kelas, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK. Indeks inklusi diperoleh dengan melakukan pengamatan pada proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan 18 indikator yang dikembangkan oleh Centre for Studies on Inclusive Education. Penelitian dilakukan terhadap 10 kelas dari 4 Sekolah Dasar di Kota Bandung yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) jumlah ABK di Sekolah Dasar inklusif bervariasi dari 1 sampai 4 anak. Sedangkan jumlah siswa antara 20 dan 46. Pada umumnya kelas yang memiliki siswa ABK gurunya lebih dari satu. (2) rata-rata indeks inklusi sebesar 38,58 dengan indeks ideal 54. (3) indeks inklusi yang tinggi dicapai di kelas yang memiliki guru lebih dari satu, gurunya sering mengikuti pelatihan penanganan ABK, siswa ABK lebih banyak, dan jumlah siswa keseluruhan lebih sedikit.
    Kata Kunci: Indeks inklusi, Sekolah Dasar, proses pembelajaran


    PENDAHULUAN


    Pendidikan inklusif telah disepakati oleh banyak negara untuk diimplementasi¬kan dalam rangka memerangi perlakuan diskriminatif di bidang pendidikan. Pendidikan inklusif didasari oleh dokumen-dokumen internasional, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien tahun 1990, Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat tahun 1993, Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994.
    Strategi, metode, atau cara mengimplementasikan pendidikan inklusif di masing-masing negara sangat bervariasi (UNESCO, 200; Stubbs, 2002). Keberagaman implementasi ini disebabkan karena tiap-tiap negara memiliki budaya dan tradisi yang berbeda. Perbedaan implementasi ini juga terjadi di tingkat provinsi, kota, bahkan sekolah. Sebenarnya perbedaan cara implementasi ini tidak menjadi masalah asalkan prinsip dan motivasinya sama.
    Pemerintah Indonesia telah berupaya mengimplementasikan pendidikan inklusif melalui berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas-dinas pendidikan di provinsi, Kota/Kabupaten. Dalam praktiknya, implementasi pendidik¬an inklusif menemui berbagai kendala dan tantangan. Kendala tersebut di antaranya yang sering dilaporkan adalah kesalahan pemahaman tentang konsep pendidikan inklusif, peraturan atau kebijakan yang tidak konsisten, sistem pendidikan yang tidak luwes dan sebagainya.
    Sejak pemerintah memperkenalkan dan mengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah, wacana tentang pendidikan inklusi telah menarik perhatian banyak kalangan, khususnya para penyelenggara pendidikan. Semakin meningkatnya perhatian terhadap pendidikan inklusif tidak secara otomatis implementasinya berjalan secara lancar. Akan tetapi, berbagai pandangan dan sikap yang justru dapat menghambat implementasi pendidikan inklusi makin beragam. Oleh karena itu, pertanyaan tentang sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di Indonesia telah terjadi patut mendapat perhatian.
    Keterlaksanaan pendidikan inklusif khususnya di sekolah sampai sekarang belum banyak dilaporkan. Di samping itu, implementasi pendidikan inklusif dipengaruhi juga oleh banyak faktor, misalnya kebijakan pemerintah, sumber dukungan yang ada, sikap, pengetahuan, dan pemahaman para praktisi pendidikan terhadap pendidikan inklusif. Penelitian ini bermaksud menggambarkan nilai-nilai inklusi yang telah ada di Sekolah Dasar yang memiliki siswa berkebutuhan khusus di Kota Bandung. Nilai-nilai inklusi yang dimaksud adalah praktik-praktik yang dilakukan guru selama mengajar di kelas. Nilai-nilai inklusi tersebut diamati menggunakan indeks inklusi (index for inclusion) yang dikeluarkan oleh Centre for Studies on Inclusive Education (CSIE).
    Upaya memperkenalkan dan mencobakan pendidikan inklusif di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1980-an. Meskipun demikian, belum banyak hasil penelitian yang melaporkan tentang kualitas atau pencapaian pelaksanaan pendidikan inklusif. Sukses pelaksanaan pendidikan inklusif dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya faktor budaya, politik, sumber daya manusia (Kwon, 2005). Menurut Ainscow (2002) keterlaksanaan pendidikan inklusif dapat dievaluasi menggunakan suatu indeks yang disebut index for inclusion. Secara konseptual indeks inklusi ini dibangun dari tiga dimensi, yaitu (1) dimensi Budaya (creating inclusive cultures), (2) dimensi Kebijakan (producing inclusive policies), dan (3) dimensi Praktik (evolving inclusive practices). Setiap dimensi dibagi dalam dua seksi, yaitu: Dimensi budaya terdiri atas seksi membangun komunitas (building community) dan seksi membangun nilai-nilai inklusif (establishing inclusive values). Dimensi kebijakan terdiri atas seksi pengembangan tempat untuk semua (developing setting for all) dan seksi melaksanakan dukungan untuk keberagam¬an (organizing support for diversity). Sedangkan dimensi praktik terdiri atas seksi belajar dan bermain bersama (orchestrating play and learning) dan seksi mobilisasi sumber-sumber (mobilizing resources). Penelitian ini bermaksud (1) Mengetahui keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung?, (2) Mengetahui indeks inklusi (index for inclusion) di kelas pada Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung?, dan (3) Mengetahui indeks inklusi di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Bandung yang menyelenggarakan pendidikan inklusif berdasarkan jumlah ABK, jumlah siswa, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan penanganan ABK?


    METODE


    Subjek
    Subjek penelitian ini adalah kelas di Sekolah Dasar yang memiliki siswa berkebutuhan khusus yang ada di Kota Bandung. Berdasarkan data di Dinas Pendidikan Kota Bandung ada sebanyak 15 kelas yang tersebar di 8 Sekolah Dasar. Oleh karena itu, yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Dalam penelitian ini dipilih 10 kelas sebagai subjek penelitian yang diambil secara acak dari 4 Sekolah Dasar.
    Prosedur
    Data keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK), jumlah siswa keseluruhan, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK diperoleh melalui wawancara dengan guru kelas. Sedangkan indeks inklusi diperoleh dengan observasi terhadap proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan daftar observasi yang terdiri dari 18 indikator. Setiap indikator yang dengan jelas teridentifikasi diberikan skor 3, yang ragu-ragu 2, dan yang tidak teridentifikasi 1, maka skor maksimal indeks inklusi yang dicapai adalah 54.
    Data utama dalam penelitian ini adalah (1) indeks inklusi, (2) jumlah ABK dalam kelas, (3) jumlah siswa keseluruhan, (4) jumlah guru yang mengajar, dan (5) pengalaman guru mengikuti pelatihan penangan ABK yang semuanya merupakan data kuantitatif, maka untuk menganalisis data tersebut digunakan analisis statistik deskriptif.


    HASIL DAN PEMBAHASAN


    Dalam kelas inklusi, ada kecenderungan bahwa jumlah ABK antara 1 dan 4 dengan guru lebih dari 1 yang terdiri dari guru kelas dengan guru khusus atau guru pembantu. Jenis ABK dengan learning disability (LD) lebih banyak ditemukan di samping anak autis dan tunagrahita (Tabel 2). Fenomena ini sesuai dengan temuan penelitian terdahulu bahwa anak-anak dengan LD dan auitis sering tidak tampak secara kasat mata (Golis, 1995), sehingga mereka tidak dikenali sejak masuk sekolah tetapi sering teridentifikasi setelah mengikuti proses pembelajaran. Peristiwa semacam ini sering kali membuat sekolah mau menerima ABK secara terpaksa pada awalnya tetapi kemudian menerima dengan motivasi yang lebih positif.

    Tabel 2

    Table with 5 columns and 10 rows.

    Kelas
    Jumlah ABK
    Jenis ABK
    Jumlah Siswa
    Jumlah Guru

    Kelas 1
    2
    1 Tunadaksa, 1 LD
    34
    1

    Kelas 2
    2
    1 LD, 1 ASD
    33
    2

    Kelas 3
    2
    1 ADHD, 1 LD
    46
    3

    Kelas 4
    2
    1 Tunagrahita, 1 LD
    34
    2

    Kelas 5
    1
    1 LD
    35
    1

    Kelas 6
    1
    1 ADHD
    20
    1

    Kelas 7
    4
    1 Tunagrahita, 1 Autis, 1 LD, 1 Gifted
    22
    6

    Kelas 8
    3
    Autis, LD, ADHD
    20
    3

    Kelas 9
    2
    2 Autis
    20
    4

    Kelas 10
    2
    1 Tunagrahita, 1 ADHD
    25
    4
    End of table.

    Dari indeks inklusi maksimal 54, ditemukan indeks tertinggi 51,6 dan terendah 28 dengan rata-rata 38,.58. Hal ini menunjukkan bahwa inklusivitas yang dicapai oleh Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif belum optimal. Menurut data ini, indeks inklusi tertinggi terjadi pada sekolah dengan jumlah murid 22 orang, ABK 4 dengan guru 6 orang. Hal ini tampaknya jumlah guru yang cukup memadai menjadi faktor utama untuk mencapai indeks inklusi yang tinggi.

    Indeks inklusi pada kelas dengan jumlah ABK lebih banyak adalah lebih tinggi daripada indeks inklusi pada kelas dengan jumlah ABK lebih sedikit. Sedangkan kelas dengan jumlah siswa keseluruhan lebih sedikit indeks inklusi lebih tinggi. Indeks inklusi tertinggi dicapai oleh kelas dengan jumlah guru lebih banyak serta pada kelas yang dengan guru yang lebih banyak mengikuti pelatihan. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor jumlah ABK, siswa keseluruhan, jumlah guru, dan keikutsertaan pelatihan berdampak pada pencapaian indeks inklusi dalam pembelajaran di kelas.



    Dalam instrumen untuk menggali indeks inklusi memiliki 18 indikator. Masing-masing indikator tersebut adalah: indikator 1 perencanaan, indikator 2 saling berkomunikasi, indikator 3 partisipasi, indikator 4 pemahaman perbedaan, indikator 5 aktivitas yang melecehkan anak, indikator 6 keterlibatan anak, indikator 7 kerja sama, indikator 8 penilaian, indikator 9 saling menghormati, indikator 10 aktivitas kegiatan berpasangan, indikator 11 bantuan pengajaran, indikator 12 mengambil bagian, indikator 13 pengaturan kelas, indikator 14 sumber pelajaran, indikator 15 perbedaan sebagai sumber, indikator 16 pemanfaatan sumber ahli, indikator 17 pengembangan sumber, dan indikator 18 pemanfaatan sumber.
    Grafik 3 menunjukkan bahwa indikator 3, 6, dan 9, yaitu tentang partisipasi anak, keterlibatan anak dalam kegiatan, dan saling menghormati mendapat skor tertinggi. Sementara itu indikator yang mendapat skor terendah adalah indikator 10 dan 16, yaitu indikator yang terkait dengan kegiatan berpasangan dan penggunaan sumber daya ahli.
    Sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada 10 kelas yang menyelenggarakan pendidikan inklusi, jumlah ABK bervariasi dari 1 sampai 4, di mana kelas dengan 2 ABK paling banyak ditemukan. Sedangkan jumlah siswa keseluruhan paling sedikit 20 dan paling banyak 46. Pada umumnya kelas yang memiliki ABK gurunya lebih dari satu, yaitu satu guru utama dibantu oleh asisten atau guru khusus, namun beberapa kelas gurunya hanya satu. Jika dalam kelas ada ABK, keadaan yang paling ideal jika ada guru kelas dan guru khusus. Guru khusus ini sebaiknya guru yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa (PLB) yang bertindak sebagai guru konsultan bagi guru kelas. Banyak negara di Eropa dan Amerika mewajibkan setiap sekolah yang memiliki siswa ABK menyediakan guru khusus. Akhir-akhir ini di Indonesia ada kecenderungan sekolah yang memiliki siswa ABK mulai menyediakan guru khusus yang umumnya terjadi di sekolah swasta. Ketersediaan guru khusus ini ada yang disediakan oleh sekolah sendiri ada pula yang disediakan oleh orangtua.
    Pada penelitian ini ditemukan rata-rata indeks inklusi sebesar 38,58 dengan indeks ideal 54. Hal ini menunjukkan bahwa indeks inklusi tertinggi baru mencapai 71,4%. Banyaknya guru yang mengajar turut mempengaruhi pencapaian indeks inklusi, di mana jumlah guru yang lebih banyak mencapai indeks inklusi yang lebih tinggi. Di samping itu, pencapaian indeks inklusi tinggi juga terjadi pada guru yang te lebih banyak mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK.
    Sementara itu, indeks inklusi lebih tinggi dicapai oleh kelas yang memiliki ABK lebih banyak. Sebaliknya pada kelas yang jumlah siswa keseluruhannya lebih sedikit indeks inklusi lebih tinggi dari pada kelas yang jumlah siswa keseluruhannya lebih sedikit.
    Kelas yang memiliki jumlah guru lebih banyak indeks inklusinya lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang memiliki jumlah guru sedikit. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah guru lebih dari satu menyebabkan perhatian khusus pada ABK lebih baik sehingga memungkinkan ABK dapat berpartisipasi dalam kegiatan belajar dan berpartisipasi secara optimal di kelas.
    Kelas yang memiliki guru dengan pengalaman mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK yang lebih banyak indeks inklusinya lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan pelatihan memberikan dampak pada guru untuk menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif dalam proses pembelajaran di kelas. Efektivitas pelatihan untuk mengubah perilaku seseorang dapat dijelaskan dengan perubahan sikap seseorang di mana sikap memiliki tiga aspek yaitu, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan diberikan informasi yang benar pengetahuan seseorang menjadi benar, dengan pengetahuan yang benar mempengaruhi seseorang untuk berbuat benar pula. Dengan argumen ini, dapat diduga guru yang mengikuti pelatihan menyebabkan mereka menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif yang benar.
    Indikator yang membentuk indeks inklusi dalam penelitian ini terdiri dari 18 indikator. Indikator yang mendapat skor tertinggi atau sering terjadi di dalam kelas adalah indikator yang terkait dengan partisipasi, keterlibatan anak dalam belajar, dan saling menghormati.


    DAFTAR PUSTAKA

    Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and Participation in School, London: CSIE.
    Golis, S. A. at al (1995) Inclusion in Elementary Schools: A Survey and policy Analysis. A peer-reviewed scholarly electronic Journal, education policy Analysis archives. 3,15.
    Kwon, H. (2005). Inclusion in South Korea: The current situation and future directions. International Journal of Disability, Development and Education, 52, 1, 59-68.
    Stubbs, S. (2002). Inclusive Education Where There are Few Resources. Oslo: The Atlas Alliance.
    UNESCO (2002). Open File on Inclusive Education. Support Materials for Managers and Administrators.